Fungsi dan Akibat Mengabaikan Bacaan Saktah Dalam Al Quran
Saktah - Dalam Al Qur'an terdapat bacaan gharib yang harus diperhatikan dan dipahami. Kesalahan membaca dapat mempengaruhi makna yang terkandung di dalam Al Qur'an. Mengetahui Fungsi dan Akibat Mengabaikan Bacaan Saktah Dalam Al Quran menjadi penting dibahas, khususnya bagi umat Islam yang setiap hari selalu membaca Al Qur'an
Pengertian Saktah
Saktah dalam arti bahasa bahasa berasal dari wazan lafadz سُكُوْتًا يَسْكُتُ - سَكَتَ yang artinya diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah adalah menghentikan bacaan (Al Qur’an) sejenak tanpa mengambil napas. Pengertian ini sebagaimana dijelaskan oleh Ahsan Al-Hafidz dalam Kamus Ilmu Al-Quran (Cetakan Sinar Grafika, Jakarta. Tahun 2008).
Abdul Chaer dalam bukunya Al-Quran Ilmu Tajwid menyebutkan bahwa Saktah menurut istilah dalam ilmu tajwid ialah menghentikan suara bacaan sejenak, sedangkan nafas tidak terputus, masih dalam kaitan membaca kalimat (belum waqaf).
Empat Bacaan Saktah Dalam Al Quran
Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs bacaan saktah terdapat di empat tempat yaitu :
1. QS. Al-Kahfi: 1,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (1) قَيِّمًا
2. QS. Yaasiin: 52,
قَالُوا يَاوَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا --- هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ (52)
3. QS. Al-Qiyamah: 27 dan
وَقِيلَ مَنْ --- رَاقٍ (27)
4. QS. Al-Muthafifin: 14.
كَلَّا بَلْ --- رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (14)
Fungsi Bacaan Saktah
Penjelasan Saktah pada QS. Al-Kahfi ayat 1.
Al-Kahfi ayat 1 menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya sudah sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz عِوَجًا, sebenarnya sudah tepat karena sudah termasuk waqaf tamm. Namun apabila dilihat dari kalimat sesudahnya, ada lafadz قَيِّمَا sehingga arti kalimatnya menjadi rancu atau kurang sempurna bila dijadikan awal bacaan.
Lafadz قَيِّمَا bukanlah menjadi sifat/na’at dari lafadz عِوَجًا, melainkan menjadi hal atau maf’ul bihnya lafadz lafadz عِوَجًا. Apabila lafadz قَيِّمَا menjadi na’atnya lafadz عِوَجًا akan mempunyai arti : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok serta lurus”. Sedangkan apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan menjadi : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus “.
Menurut Imam Ad-Darwisy, kata قَيِّمَا dinashabkan sebagai hal dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا, sedang Imam Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa ”جَعَلَهُ“. Berbeda juga dengan pendapat Imam Abu Hayyan, menurutnya kata قَيِّمَا itu badal mufrad dari badal jumlah “وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا “. Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’) dari قَيِّمَا, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas, baik diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka diberikanlah tanda saktah.
Penjelasan Saktah pada QS. Yaasiin ayat 52
Dalam QS. Yaasiin ayat 52di dalam kalimat مِنْ مَرْقَدِنَا سكتة هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ. Menurut Imam Ad-Darwisy lafadz هٰذَا itu mubtada’ dan khabarnya adalah lafadz مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ . Berbeda halnya dengan pendapat Imam Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadz هٰذَا itu na’at dari مَرْقَدِ, sedangkan مَا sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu lafadz حق atau هٰذَا. Dari segi makna, kedua alasan penempatan saktah tersebut sama-sama tepat.
Alasan pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”.
Alasan kedua, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir.
Penjelasan Saktah pada QS. Al-Qiyamah ayat 27 dan QS. Al-Muthafifin ayat 14
Adapun lafadz مَنْ dalam QS. Al-Qiyamah ayat 27 pada kalimat مَنْ سكتة رَاقٍ dan lafadz بَلْ dalam QS. Al-Muthafifin ayat 14 pada kalimat بَلْ سكتة رَانَ adalah untuk menjelaskan fungsi مَنْ sebagai kata tanya dan fungsi بَلْ sebagai penegas dan juga untuk memperjelas idharnya lam dan nun, sebab apabila lam dan nun bertemu dengan ra’ seharusnya dibaca idgham, namun karena lafadz مَنْ dan بَلْ dalam kalimat مَنْ سكتة رَاقٍ dan بَلْ سكتة رَانَ mempunyai makna yang berbeda, maka perlu dipisahkan dengan saktah.
Syukron,,pencerahannya 🙏
BalasHapus