Mengenal Khalid bin Walid, Panglima Perang Tak Terkalahkan
Khalid bin Walid - Seorang sahabat yang dikenang sepanjang masa, bahkan Rasulullah SAW berkata tentangnya, "Orang seperti dirinya tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ia harus diincar sebagai calon pemimpin Islam. Jika ia menggabungkan diri dengan kaum muslimin dalam peperangan melawan orang-orang kafir, kita harus mengangkatnya kedalam golongan pemimpin". Sahabat itu adalah Khalid bin Walid, mari kita Mengenal Khalid bin Walid, Panglima Tak Terkalahkan.
Silsilah Khalid bin Walid
Dilansir dari wikipedia, Khalid bin Walid ( Syaifullah Al - Maslul ) dilahirkan sekitar 17 tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia anggota suku Banu Makhzum. Ayahnya bernama Walid bin al-Mughirah yang memiliki jabatan sebagai kepala suku Bani Makhzum, suatu klan dari suku Quraisy yang menetap di Mekkah. Sedangkan ibu Khalid bernama Lubabah binti al-Harith.
Setelah kelahirannya, sesuai dengan tradisi kaum Quraisy pada zaman itu, Khalid dikirim ke sebuah suku Badui di gurun, dimana ibu angkat akan merawatnya. Saat Khalid berumur 5 atau 6, dia dikembalikan ke orang tuanya di Mekkah. Pada masa kanak-kanaknya, Khalid pernah mengalami serangan cacar ringan, cacar tersebut hilang walaupun meninggalkan beberapa bekas luka di pipi kirinya.
Khalid termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.
Ayah Khalid yang bernama Walid bin Mughirah dari Bani Makhzum, adalah salah seorang pemimpin yang paling berkuasa di antara orang-orang Quraisy. Dia sangat kaya. Dia menghormati Ka'bah dengan perasaan yang sangat mendalam. Sekali dua tahun dialah yang menyediakan kain penutup Ka'bah. Pada masa ibadah Haji dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua orang yang datang berkumpul di Mina.
Ketika orang Quraisy memperbaiki Ka'bah tidak seorang pun yang berani meruntuhkan dinding-dindingnya yang tua itu. Semua orang takut kalau-kalau jatuh dan mati. Melihat suasana begini Walid maju kedepan dengan bersenjatakan sekop sambil berteriak, "O, Tuhan jangan marah kepada kami. Kami berniat baik terhadap rumahMu".
Khalid mematahkan kaki sepupunya, Umar bin Khattab
Khalid bin Walid dan Umar bin Khattab adalah saudara sepupu dan memiliki kemiripan wajah. Keduanya sangat tinggi, Khalid memiliki tubuh yang kuat, bahu yang lebar, badan yang kekar juga berjenggot penuh dan tebal di wajahnya.
Khalid seorang juara gulat, suatu ketika ia pernah adu gulat dengan Umar bin Khattab. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Khalid juga jago berkuda, dimasa kecil ia juga berlatih menggunakan senjata seperti panah, tombak, dan pedang. Tombak adalah senjata favoritnya.
Kedudukan ayah Khalid di suku Quraisy memberikan dorongan keras kepada Khalid untuk mendapatkan kedudukan dan kehormatan, seperti ayah dan paman-pamannya. Satu-satunya permintaan Khalid ialah agar menjadi orang yang dapat mengalahkan teman-temannya dalam adu tenaga. Oleh karena itu ia menceburkan dirinya kedalam seni peperangan dan seni beladiri. Ia juga mempelajari keahlian mengendarai kuda, memainkan pedang dan memanah.
Tak berhenti dalam seni bela diri, Khalid juga mencurahkan perhatiannya ke dalam hal memimpin angkatan perang. Talentanya yang asli, di tambah dengan latihan yang sangat keras, telah membina Khalid menjadi sosok yang luar biasa. Kemahiran dan keberaniannya mengagumkan setiap orang.
Khalid bin Walid sebelum masuk Islam
Pada masa kanak-kanaknya Khalid telah kelihatan menonjol di antara teman-temannya. Dia telah sanggup merebut tempat istimewa dalam hati rakyat. Lama kelamaan Khalid menanjak menjadi pemimpin suku Quraisy. Pada waktu itu orang-orang Quraisy sedang memusuhi Islam. Mereka sangat anti dan memusuhi agama Islam dan penganut-penganut Islam.Itu menjadi bahaya bagi kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy sangat mencintai adat kebiasaannya. Sebab itu mereka mengangkat senjata untuk menggempur orang-orang Islam. Tunas Islam harus dihancurkan sebelum tumbuh berurat-berakar. Khalid sebagai pemuda Quraisy yang berani dan bersemangat berdiri di garis paling depan dalam penggempuran terhadap islam. Hal ini sudah wajar dan seirama dengan kehendak alam.
Sejak kecil pemuda Khalid bertekad menjadi pahlawan Quraisy. Kesempatan ini diperolehnya dalam pertentangan-pertentangan dengan orang-orang Islam. Untuk membuktikan bakat dan kecakapannya ini, dia harus menonjolkan dirinya dalam segala pertempuran. Dia harus memperlihatkan kualitasnya sebagai petarung sejati kepada sukunya.
Khalid bin Walid Panglima Quraisy di perang Uhud
Kekalahan kaum Quraisy di dalam perang Badar membuat mereka jadi kegila-gilaan, karena penyesalan dan panas hati. Mereka merasa terhina. Rasa sombong dan kebanggaan mereka sebagai suku Quraisy telah meluncur masuk lumpur kehinaan Arang telah tercoreng di muka orang-orang Quraisy. Mereka seolah-olah tidak bisa lagi mengangkat dirinya dari lumpur kehinaan ini. Dengan segera mereka membuat persiapan-persiapan untuk membalas pengalaman pahit yang terjadi di Badar.
Sebagai pemuda Quraisy, Khalid bin Walid pun ikut merasakan pahit getirnya kekalahan itu. Sebab itu dia ingin membalas dendam sukunya dalam peperangan Uhud. Khalid dengan pasukannya bergerak ke Uhud dengan satu tekad menang atau mati. Orang-orang Islam dalam pertempuran Uhud ini mengambil posisi dengan membelakangi bukit Uhud.
Sungguhpun kedudukan pertahanan baik, masih terdapat suatu kekhawatiran. Di bukit Uhud masih ada suatu tanah genting, di mana tentara Quraisy dapat menyerbu masuk pertahanan Islam. Untuk menjaga tanah genting ini, Nabi menempatkan 50 orang pemanah terbaik. Nabi memerintahkan kepada mereka agar bertahan mati-matian. Dalam keadaan bagaimana jua pun jangan sampai meninggalkan pos masing-masing.
Khalid bin Walid memimpin sayap kanan tentara Quraisy empat kali lebih besar jumlahnya dari pasukan Islam. Tetapi mereka jadi ragu-ragu mengingat kekalahan-kekalahan yang telah mereka alami di Badar. Karena kekalahan ini hati mereka menjadi kecil menghadapi keberanian orang-orang Islam.
Sungguh pun begitu pasukan-pasukan Quraisy memulai pertempuran dengan baik. Tetapi setelah orang-orang Islam mulai mendobrak pertahanan mereka, mereka telah gagal untuk mempertahankan tanah yang mereka injak.
Kekuatannya menjadi terpecah-pecah. Mereka lari cerai-berai. Peristiwa Badar berulang kembali di Uhud. Saat-saat kritis sedang mengancam orang-orang Quraisy. Tetapi Khalid bin Walid tidak goncang dan sarafnya tetap membaja. Dia mengumpulkan kembali anak buahnya dan mencari kesempatan baik guna melakukan pukulan yang menentukan.
Melihat orang-orang Quraisy cerai-berai, pemanah-pemanah yang bertugas ditanah genting tidak tahan hati. Pasukan Islam tertarik oleh harta perang, harta yang ada pada mayat-mayat orang-orang Quraisy. Tanpa pikir panjang akan akibatnya, sebagian besar pemanah-pemanah, penjaga tanah genting meninggalkan posnya dan menyerbu kelapangan.
Pertahanan tanah genting menjadi kosong. Khalid bin Walid dengan segera melihat kesempatan baik ini. Dia menyerbu ketanah genting dan mendesak masuk. Beberapa orang pemanah yang masih tinggal dikeroyok bersama-sama. Tanah genting dikuasai oleh pasukan Khalid dan mereka menjadi leluasa untuk menggempur pasukan Islam dari belakang.
Dengan kecepatan yang tak ada taranya Khalid masuk dari garis belakang dan menggempur orang Islam di pusat pertahanannya. Melihat Khalid telah masuk melalui tanah genting, orang-orang Quraisy yang telah lari cerai-berai berkumpul kembali dan mengikuti jejak Khalid menyerbu dari belakang. Pemenang-pemenang antara beberapa menit yang lalu, sekarang telah terkepung lagi dari segenap penjuru, dan situasi mereka menjadi gawat.
Khalid bin Walid telah merobah kemenangan orang Islam di Uhud menjadi suatu kehancuran. Mestinya orang-orang Quraisylah yang kalah dan cerai-berai. Tetapi karena gemilangnya Khalid sebagai ahli siasat perang, kekalahan-kekalahan telah disunglapnya menjadi satu kemenangan. Dia menemukan lobang-lobang kelemahan pertahanan orang Islam.
Hanya pahlawan Khalid lah yang dapat mencari saat-saat kelemahan lawannya. Dan dia pula yang sanggup menarik kembali tentara yang telah cerai-berai dan memaksanya untuk bertempur lagi. Seni perangnya yang luar biasa inilah yang mengungkap kekalahan Uhud menjadi suatu kemenangan bagi orang Quraisy.
Khalid bin Walid Masuk Islam
Diriwayatkan oleh al Waqidi dari Khalid r.a. katanya: Ketika Allah ingin memberiku kebaikan, maka Dia memasukkan Islam ke dalam hatiku dan petunjuk-Nya hadir dalam hatiku. Aku telah berperang melawan Muhammad dalam banyak pertempuran. Namun dalam setiap peperangan aku pasti kalah dan Muhammad pasti memperoleh kemenangan.
Ketika Rasulullah saw. berangkat ke Hudaibiyah, aku berangkat bersama pasukan berkuda kaum musyrik. Di ‘Usfah, aku bertemu dengan Rasulullah saw. bersama para sahabatnya. Aku berdiri di hadapan jalur perjalanan beliau untuk menghalanginya. Beliau melakukan shalat Dhuhur dengan para sahabatnya di hadapan kami sementara kami berniat untuk menyerang mereka. Akan tetapi hal itu belum kami niatkan dengan kuat, karena dalam masalah itu masih ada pilihan lainnya. Selanjutnya beliau mengetahui keinginan yang ada dalam hati kami, sehingga Rasulullah saw. melaksanakan shalat Ashar barsama para sahabatnya dengan shalat khauf.
Hal itu telah menyebabkan timbulnya kesimpulan di dalam hati kami dengan kesimpulan yang sempurna, dan aku berkata, “Lelaki itu sedang dihalangi.”
Rasulullah saw. pun menghindar dari kami dan menyimpang dari arah perjalanan pasukan berkuda kami. Beliau mengambil jalan sebelah kanan. Ketika itu orang-orang Quraisy mengadakan perjanjian Hudaibiyah, dan mereka telah memaksa beliau untuk meninggalkan Makkah dengan tangan kosong tanpa senjata.
Aku berkata kepada diriku sendiri, “Apa lagi yang masih tersisa? Ke mana aku harus pergi? Kepada Najasyi! Sesungguhnya ia telah mengikuti Muhammad dan para sahabat beliau ada di sisinya dalam keadaan aman. Haruskah aku pergi menyertai Hiraqla dan keluar dari agamaku untuk memeluk agama Kristen atau Yahudi? Lalu aku tinggal di kalangan orang-orang ‘Ajam?”
Maka aku pun tetap tinggal di kampungku bersama orang-orang yang belum memeluk Islam. Ketika aku dalam keadaan demikian, Rasulullah saw. memasuki kota Makkah untuk mengerjakan umrah Qadhiyyah1. Aku pun menyembunyikan diri, dan tidak mau menyaksikan kedatangan Rasulullah saw. di Makkah. Saudara lelakiku, al Walid bin al Walid telah masuk ke Makkah bersama Rasulullah saw. di dalam umrah itu.
Dia berusaha mencariku tetapi tidak berhasil menemukanku. Oleh karena itu, ia menulis surat kepadaku yang berbunyi:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya aku tidak melihat sesuatu yang membuatku heran daripada hilangnya kemampuan berpikirmu terhadap agama Islam, sedang akalmu dalam keadaan sempurna, bisa membedakan antara yang hak dan batil. Agama seperti Islam itu, adakah seseorang yang tidak tahu. Padahal Rasulullah saw. bertanya kepadaku mengenaimu.”
“Rasulullah saw. bersabda, ‘Di manakah Khalid?’ Aku menjawab, ‘Allah akan mendatangkannya.’ Beliau bertanya, orang seperti dia masih tidak tahu mengenai agama Islam? Jika ia berusaha dengan gigih dan menggunakan kemampuan perangnya untuk membantu orang Islam, niscaya hal itu lebih baik baginya. Dan kami mendahulukannya sebelum yang lainnya.’ Karena itu, Wahai saudaraku! Raihlah medan-medan perang kebaikan yang telah kau lewatkan!”
Khalid berkata, “Telah sampai suratnya ke pangkuanku. Ini membuatku merasa ringan untuk keluar dari kampungku. Pada saat inilah kegairahanku untuk memeluk Islam semakin bertambah. Pertanyaan Rasulullah saw. terhadap diriku juga sangat menggembirakanku. Aku bermimpi seolah-olah aku berada di suatu negeri yang sangat sempit dan gersang, kemudian aku keluar menuju suatu negeri yang subur menghijau dan sangat luas. Aku mengatakan bahwa sesungguhnya mimpi ini benar.”
Ketika aku sampai di Madinah, aku berkata, “Aku akan menceritakan mimpiku itu kepada Abu Bakar r.a..” kemudian Abu Bakar berkata, “Negeri yang luas itu adalah jalan keluarmu, yang dengannya Allah telah memberikan hidayah kepadamu untuk memeluk Islam. Sedang negeri yang sempit itu adalah tempat di mana sebelumnya kamu berada dalam kesyirikan.”
Kata Khalid: Sebelumnya, ketika aku berazam untuk berangkat menemui Rasulullah saw., aku bertanya, “Siapakah yang bisa kujadikan teman untuk berjumpa dengan Rasulullah saw.?”
Maka aku menemui Shafwan bin Umayyah dan berkata kepadanya, “Hai Abu Wahb, apakah engkau tidak melihat keadaan kita sekarang ini? Sesungguhnya kita hanyalah seperti hujan rintik-rintik (perumpamaan jumlah yang sedikit). Muhammad telah memperoleh kemenangan di atas orang-orang Arab maupun orang Ajam. Maka alangkah baiknya jika kita menemui Muhammad dan mengikutinya, karena sesungguhnya kemuliaan Muhammad adalah kemulian kita juga.”
Akan tetapi ia menolak dengan penolakan yang kuat, sampai ia berkata, “Jika tidak ada siapa pun yang tersisa kecuali aku saja, pasti aku tidak akan mengikutinya selama-lamanya.”
Kami pun berpisah. Ia adalah lelaki yang saudaranya dan bapaknya terbunuh dalam perang Badar, wajar jika ia menolak. Kemudian aku menemui Ikrimah bin Abu Jahal, aku pun mengatakan kepadanya seperti yang aku katakan kepada Shafwan tadi. Ikrimah pun memberi jawaban kepadaku seperti halnya Shafwan.
Aku berkata, “Kalau begitu, rahasiakanlah azamku ini.”
Kata Ikrimah, “Aku tidak akan menceritakannya kepada siapa pun.”
Kemudian aku kembali ke rumahku dan menyuruh seseorang menyiapkan tungganganku. Aku berangkat hingga aku berjumpa dengan Utsman bin Thalhah r.a.. Aku berkata dalam hati, “Sesungguhnya ia adalah sahabat baikku, sebaiknya aku memberitahukan keinginanku padanya.” Akan tetapi aku ingat dengan para moyangnya yang terbunuh melawan Rasulullah saw., sehingga aku tidak suka untuk menceritakan niatku. Tetapi kemudian aku berkata lagi, “Apa salahnya bila kuceritakan? Lagi pula aku saat ini sudah dalam keadaan berangkat.” Maka aku beritahukan kepadanya peristiwa yang mungkin akan menimpanya.
Aku berkata, “Sesungguhnya saat ini kita seperti musang di dalam lubangnya. Apabila ke dalam lubang-lubang itu disemprot dengan air, pastilah musang-musang itu akan keluar dari lubangnya.”
Lalu aku berkata kepada Utsman bin Thalhah sebagaimana yang aku katakan kepada kedua sahabatku tadi, dan ia pun menyambutnya dengan baik.
Aku berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku pada hari ini telah bersiap pagi sekali dan besok aku berniat berangkat pagi juga. Dan ini kendaraanku yang kutaruh di Fajj dalam keadaan tertambat.”
Maka aku membuat janji dengannya untuk bertemu di Ya’juj (sekitar delapan mil dari Makkah). Apabila ia yang sampai lebih dahulu di sana, maka ia akan menungguku, dan begitu pula sebaliknya.
Kemudian kami berangkat sampai di Haddah. Di sana kami menemui ‘Amr bin ‘Ash. Ia berkata, “Selamat datang wahai kaumku.”
Kami menjawab, “Selamat datang juga bagimu.”
Dia bertanya, “Ke mana arah tujuanmu?”
Kami pun bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau keluar dari Makkah?”
Ia pun balik bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau keluar dari Makkah?”
Kami menjawab, “Untuk memeluk Islam dan mengikuti Muhammad saw.”
Dia berkata, “Demikian juga yang menyebabkan aku sampai di sini.”
Maka kami pun pergi bersama hingga sampai di Madinah. Kami tambatkan unta kami di bagian luar Harrah. Kedatangan kami telah diberitahukan kepada Rasulullah saw. dan beliau sangat gembira dengan kedatangan kami ini. Aku pun memakai pakaian yang terbaik kemudian menemui Rasulullah saw.. Di sana aku menemui adik lelakiku yang berkata, “Bersegeralah, karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah di beri tahu mengenai kedatanganmu dan beliau sangat gembira, beliau juga sedang menunggu kalian.”
Kami pun mempercepat langkah menuju ke sana. Aku muncul di hadapan Rasulullah saw. yang terus tersenyum kepada kami sehingga aku berhenti di hadapannya dan memberikan salam kepadanya dengan ucapan kenabian, “Assalamu’alaykum, wahai nabi Allah.”
Beliau saw. menjawab salamku dengan wajah yang berseri-seri.
Aku berkata, “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya engkau pesuruh Allah.”
Rasulullah saw. bersabda, “Marilah.” Kemudian beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah kepadamu, sesungguhnya aku telah melihat engkau sebagai orang yang berakal cerdik dan aku berharap akalmu tidak akan mengantarkan engkau melainkan menuju kebaikan.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah melihat dalam beberapa medan perang yang diikuti saat melawan engkau dengan penuh penantangan. Maka hendaknya engkau memohon kepada Allah untuk mengampuni semua itu untukku.”
Rasulullah saw. bersabda, “Islam telah menghapuskan semua dosa yang terjadi sebelumnya.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, selain itu?”
Rasulullah saw. berdo’a, “Ya Allah, ampunilah Khalid bin al Walid dari semua yang telah dilakukannya yang menghalangi-halangi orang dari jalan-Mu.”
Utsman dan ‘Amr pun pergi ke hadapan Rasulullah dan berbaiat kepadanya.
Kedatangan kami saat itu terjadi pada bulan Shafar tahun delapan hijrah. Demi Allah, Rasulullah saw. tidak pernah menyejajarkanku dalam setiap urusan sulit yang menimpa beliau.
Khalid bin Walid Panglima Perang Tak Terkalahkan
Perang pertama yang dijalani Khalid adalah Perang Mu'tah. Dalam kecamuk peperangan itu, pembawa panji Islam telah gugur sebagai syahid. Kemudian, Tsabit bin Aqram merebut panji Islam dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berseru, Wahai sekalian kaum Anshar! Maka, pasukan Muslimin segera mendatanginya. Di hadapan mereka, Khalid menerima panji dari tangan Tsabit. Demi Allah, aku Tsabit bin Aqram tidaklah mengambil bendera ini melainkan untuk aku serahkan kepadamu (Khalid).
Peperangan Mu'tah ini tercatat di dalam sejarah sebagai sebuah peperangan besar, di mana tentara Islam yang berjumlah 3.000 orang melawan 200.000 tentara Romawi Nasrani. Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya 12 orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebab terjadinya perang ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat melalui utusannya, Harits bin Umair radhiallahu ‘anhu kepada Raja Bushra. Tatkala utusan ini sampai di Mu’tah (Timur Yordania), ia dihadang dan dibunuh, padahal menurut adat yang berlaku pada saat itu –dan berlaku hingga sekarang- bahwa utusan tidak boleh dibunuh dan kapan saja membunuh utusan, maka berarti menyatakan pengumuman perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah akibat tindakan jahat ini, beliau mengirim pasukan perang pada Jumadil Awal tahun ke-8 Hijriah yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika Zaid mati syahid, maka Ja’far yang menggantikannya. Jjika Ja’far mati syahid, maka Abdullah bin Rawahah penggantinya.”
Ini pertama kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tiga panglima sekaligus karena beliau mengetahui kekuatan militer Romawi yang tak tertandingi pada waktu itu.
Peperangan berkecamuk dengan dahsyat. Pusat perhatian musuh tertuju kepada pembawa bendera kaum muslimin dan keberanian para panglima Islam dalam maju memerangi musuh, hingga mati syahidlah panglima pertama, Zaid bin Haritsa radhiallahu ‘anhu. Lalu bendara perang diambil oleh panglima kedua, Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau berperang habis-habisan hingga tangan kannya terputus, lalu bendera dibawa dengan tangannya kirinya hingga terputus pula dan merangkul bendera dengan dadanya hingga terbunuh. Sebagai balasannya, Allah menggantikan kedua tangannya dengan dua sayap agar di surga ia dapat terbang ke mana saja. Setelah beliau syahid ditemukan pada tubuhnya terdapat 90 luka lebih antara tebasan pedang, tusukan panah atau tombak yang menunjukkan keberaniannya dalam menyerang musuh.
Kemudian bendera perang dibawa oleh panglima ketiga. Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu dan berperang hingga mati syahid menyusul kedua rekannya. Agar bendera perang tidak jatuh maka mereka mengangkatnya dan bersepakat untuk menyerahkannya kepada Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu, maka beliau membawa bendera perang.
Setelah peperangan yang luar biasa, keesokan harinya Khalid radhiallahu ‘anhu –dengan kecerdasan siasat baru dengan mengubah posisi pasukannya dari semula; yaitu pasukan depan ke belakang dan sebaliknya, pasukan kanan ke kiri dan sebaliknya, sehingga tampak bagi musuh bahwa kaum muslimin mendapat bantuan tentara yang baru dan menimbulkan rasa takut dalam hati mereka dan menjadi sebab kekalahan mereka.
Setelah berperang lama, Khalid radhiallahu ‘anhu menilai bahwa kekuatan musuh jauh tidak sebanding dengan kekuatan kaum muslimin. Maka beliau menarik mundur pasukannya dengan selamat hingga ke Madinah, sedang musuh tidak mengejar mereka karena khawatir kalau-kalau ini dilakukan oleh kaum muslimin sebagai siasat perang untuk mengajak Romawi menuju medan perang yang lebih terbuka di padang pasir –yang akan merugikan Romawi.
Dalam perang ini, Khalid radhiallahu ‘anhu berperang habis-habisan hingga sembilan pedang patah di tangannya. Ini menunjukkan betapa besarnya peperangan tersebut dan betapa besar perjuangan para sahabat demi Islam. Maka semoga Allah melaknat orang-orang Syi’ah yang tidak mengakui keutamaan para sahabat. Seandainya Syi’ah mencela seorang saja dari sahabat biasa, sungguh cukuplah sebagai kejelekan mereka, lalu bagaimana jika yang mereka cela adalah kebanyakan sahabat bahkan yang paling utama di antara mereka. Sungguh tidak ada kebaikan yang dilakukan oleh siapa pun kecuali para sahabat merupakan pendahulunya dan mendapat pahalanya.
Khalid bin Walid diberhentikan sebagai Panglima Perang
Di tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk perang di Irak, tiba-tiba datang surat perintah dari Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Isinya, komandan pasukan Islam, Jenderal Khalid bin Walid, diminta untuk mengarahkan pasukannya ke wilayah Syria untuk menghadapi serangan tentara Romawi Timur.
Khalid yang masih sangat belia itu segera mengatur strategi pengalihan komando. Dengan cepat ia menunjuk Mutsanna bin Harits menggantikan posisinya di daerah Irak untuk menghadapi musuh. Ia pun segera mengambil 1500 tentara Islam dan bergerak ke Syria melalui jalan padang pasir. Badi’us Samawah—padang pasir yang belum pernah dilalui manusia saat itu—dirambahnya demi mengejar waktu sampai ke sana.
Sesampai di Syria, Khalid menggabungkan pasukan yang dipilihnya dari Irak dengan yang ada di Syria sehingga totalnya berjumlah 4000 tentara. Terjadilah pertempuran sengit pasukan Islam itu bertarung melawan 24.000 tentara Romawi. Khalid yang gagah perkasa dan berpengalaman mengatur strategi perang tampil dengan penuh ksatria.
Meski jumlah pasukan Islam tak sebanding dengan pasukan Romawi, tetapi peperangan itu berlangsung cukup lama. Puluhan tentara Islam syahid dan ratusan tentara Romawi menjemput maut. Pemimpin pasukan Romawi tak menduga bakal menghadapi perlawanan yang sengit sehingga merenggut anggota pasukannya tersebut.
Khalid sangat bersyukur dan bahagia mendapatkan jajaran anggota pasukannya yang taat sehingga hampir mencapai kemenangan. Di saat hendak mengakhiri peperangan itu, datanglah utusan Khalifah Umar bin Khattab—yang menggantikan posisi Abu Bakar karena wafat—memberikan surat tertutup kepada Khalid.
“Pedang Allah”—demikian julukan Khalid bin Walid—segera membuka surat bertanda tangan sang Khalifah Umar.
Isinya, berita wafatnya Khalifah Abu Bakar dan pemberhentian Khalid sebagai pimpinan pasukan segera. Usai membaca isi surat pendek itu, Khalid tampak termenung. Meski agak gundah ia menjaga sikapnya tetap tenang seraya tidak menunjukkan reaksi yang mengejutkan di depan beberapa anggota pasukannya.
Khalid menerawang ke angkasa, menganalisa penyebab Khalifah memberhentikan dirinya. Sebagai seorang manusia pada mulanya ia merasa terhenyak melihat isi surat tersebut. Namun, sebagai shahabat yang telah berbai’at serta mengetahui secara dekat pribadi dan kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar serta Umar bin Khattab, Khalid tunduk pada titahnya.
Sekalipun seolah-olah kasih sayang Khalifah pada Khalid hilang karena amar tersebut, Khalid tetap memandang Umar di atas keadilan dan ketakwaan. Karena itu ia melenyapkan segala syak wasangka. “Tak ada alasan untuk meragukan keputusan yang diambilnya,” kata hati Khalid mantap.
Dengan lembut ia membisikkan pesan kepada si pembawa surat agar tidak menceritakan berita wafatnya Khalifah Abu Bakar dan pemberhentian dirinya kepada siapapun. “Tinggallah di suatu tempat tertentu dan tetap di situ sampai ada perintah selanjutnya. Jangan pula berhubungan dengan siapapun,” ujar Khalid.
Sesuai pesan surat tersebut, Khalid lantas menunjuk Abu ‘Ubaidah bin Jarrah sebagai pimpinan pasukan Islam, menggantikan dirinya. Ia ikhlas berganti posisi menjadi anggota pasukan. Gelora jihad kian membara hingga pada akhirnya tentara Romawi kocar-kacir meninggalkan bumi Syria.
Atas kemenangan itu pasukan Islam yang tinggal sekira 3000 tentara melantunkan takbir, tahmid, dan tasbih. Mereka saling berpelukan. Khalid pun memberi hormat pada Abu ‘Ubaidah yang telah memimpin pasukan hingga menang. Abu ‘Ubaidah menyambut salam penghormatan atasnya. Ia mendekati Khalid, memeluk dan mencium di antara kedua matanya, seraya memuji kebesaran jiwa dan akhlaknya. Air matanya mengalir tanda bahagia dan syukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin.
Di tengah hiruk-pikuk kemenangan, Khalid menunjukkan surat Khalifah Umar bin Khattab kepada Abu ‘Ubaidah. Abu ‘Ubaidah tertegun sesaat seolah tak mempercayainya. Lantas, Khalid pun mengumumkan kepemimpinan Abu ‘Ubaidah untuk mengomandani pasukannya yang masih bertempur melawan kekaisarn Persi di Irak. Sebagian pasukan tampak keheranan mendengar putusan Khalid.
Ada pula segelintir tentara yang memprotes pemberhentian Abu Sulaiman—sapaan akrab Khalid bin Walid. Mereka mempertanyakan sikap panglima Khalid yang masih bersemangat dan bertempur mati-matian padahal dia sudah dipecat oleh Khalifah Umar? “Aku berjuang bukan karena kepentingan Umar. Aku berjuang semata-mata untuk Allah SWT!” jawab Khalid tegas. Mereka pun terdiam sambil menahan rasa haru dan kagum padanya.
Orang-orang yang fanatik pada figur Khalid yang tak pernah kalah dalam setiap pertempuran terus mempertanyakan kebijakan Khalifah Umar atas pemecatannya. Mereka menganggap Khalifah tidak adil dalam masalah ini.
“Tidak! Aku memberhentikan Khalid bukan kerana tidak suka kepadanya. Juga bukan karena dia tidak jujur. Bahkan aku kagum padanya. Tindakan yang aku ambil hanyalah untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa kemenangan umat Islam selama ini hanyalah karena pertolongan Allah SWT. Bukan karena kehebatan Khalid! Jangan sampai ada anggapan bahwa kemenangan kita selama ini semata-mata karena kehebatan Khalid bin Al-Walid saja…” jelas Khalifah Umar.
Penjelasan Khalifah mematahkan teka-teki seputar pemecatan itu. Mereka sadar bahwa kefanatikan pada diri Khalid dapat membahayakan akidah mereka. Hal demikian sudah ditangkap batin Khalid yang telah ditempa oleh Rasulullah SAW selama beberapa tahun sebelum beliau wafat.
Khalid bin Walid Wafat
Meskipun Khalid bin Walid adalah orang yang paling gigih dalam berjihad dalam perang, namun ia meninggal di atas tempat tidur karena sakit. Ketika kematian hendak menjemput Khalid bin Walid, ia berkata,
“Aku telah turut serta dalam 100 perang atau kurang lebih demikian. Tidak ada satu jengkal pun di tubuhku, kecuali terdapat bekas luka pukulan pedang, hujaman tombak, atau tusukan anak panah. Namun lihatlah aku sekarang, akan wafat di atas tempat tidurku. Maka janganlah mata ini terpejam (wafat) sebagaimana terpejamnya mata orang-orang penakut. Tidak ada suatu amalan yang paling aku harapkan daripada laa ilaaha illallaah, dan aku terus menjaga kalimat tersebut (tidak berbuat syirik).”
Ia pun meninggal pada tanggal 18 Ramadhan 21 Hijriah. Umar bin Khattab memimpin shalat jenazahnya.
Posting Komentar untuk "Mengenal Khalid bin Walid, Panglima Perang Tak Terkalahkan"