Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Adab Menghafal Al Quran

Adab Menghafal Al Qur'an 

Bagaimana Etika Menghafal Al Qur'an

Keinginan menjadi penghafal Al-Qur’an merupakan keinginan istimewa yang sarat nilai ibadah. Bagaimana tidak? Membaca satu huruf dalam Al-Qur’an berbanding dengan sepuluh kebaikan, tentunya seorang yang menghafal Al Qur'an akan lebih sering membaca dari pada yang tidak, sebab seorang penghafal harus terus menerus dan mengulang hafalannya agar tidak hilang.

Seorang yang mampu menghafal Al-Qur’an dijanjikan surga bersama sepuluh keluarganya. Oleh sebab itu, banyak orang tua utamanya diera ini berlomba-lomba menyuruh dan mengusahakan anak-anaknya untuk menghafal Al-Qur’an serta memasukkannya disekolah-sekolah yang ada program tahfidz Al Quran.

Selain itu, seorang penghafal Al Qur'an juga mendapat predikat sebagai “hamil” Al-Qur’an (bukan “al-hafiz” sebagaimana banyak dipakai di Indonesia) dan sebagai keluarga Allah swt dari kalangan manusia, sebagaimana sabda Nabi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ» قِيلَ: مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَهْلُ الْقُرْآنِ هُمْ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ

“Sesungguhnya Allah subhanahu wata‘ala memiliki keluarga dari kalangan manusia. Ditanyakan kepada Nabi, siapakah gerangan , wahai Rasul ? Nabi bersabda: Ahli Al-Qur’an adalah keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya,” (Abdullah al-Darimi, Sunan al-Darimi, Saudi: Dar al-Mugni li al-Nasyr wa al-Tauzi’ 2000, juz IV, hal, 2094, no hadis 3369).

Walaupun begitu, untuk memperoleh kehormatan sebagai “hamil” Al-Qur’an yang sebenarnya tidaklah mudah. Sebab, predikat “hamil” Al-Qur’an tidak cukup dengan hanya hafal Al-Qur’an saja, namun dia dituntut agar mampu mengaplikasikan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

Imam Al-Qathalani, sebagaimana dikutip oleh Mustafa Murad dalam karyanya Kaifa Tahfadz Al-Qur’an mengatakan bahwa Ahlu Al-Qur’an adalah orang-orang yang mengamalkan dan mengaplikasikan (isi kandungan) Al-Qur’an, mereka adalah para kekasih Allah yang istimewa di antara manusia, mereka tidak sekadar hafal Al-Qur’an tapi mengabaikan batasan-batasan (yang diatur) Al-Qur’an (Mustafa Murad, Kaifa Tahfadz Al-Qur’an, Kairo: Dar al-Fajr li al-Turats, 2003, hal 28).

Seorang yang hafal Al-Qur’an hendaknya memiliki perhatian terhadap etika-etika yang mulia, untuk menjaga identitas sebagai “ahlu Allah wa khasshatuh” (keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya). Untuk itu, berikut merupakan etika dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang penghafal Al-Qur’an:

1. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus memiliki perangai dan akhlak yang sempurna. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an harus mencerminkan akhlak Al-Qur’an. Untuk menghiasi diri dengan akhlak Al-Qur’an, seorang “hamil” Al-Qur’an harus mencontoh akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi merupakan teks Al-Qur’an yang hidup, sebagai cerminan dari Al-Qur’an, sebagaimana Sayyidah Aisyah berkata: kâna khuluquhul qur'ân (akhlak Rasulullah tak ubahnya Al-Qur'an).

2. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus meninggalkan setiap sesuatu yang dilarang Al-Qur’an karena untuk memuliakan Al-Qur’an. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an hendaknya tidak mengabaikan apa yang dilarang oleh Al-Qur’an, demi menjaga muru’ah dan kemuliaan Al-Qur’an. Imam Fudhail bin Iyadh menganjurkan kepada seorang penghafal Al-Qur’an untuk menjaga sikapnya, sebab ia diibaratkan sebagai pembawa bendera Islam, ia berkata:

حامل القرآن حامل راية الإسلام لا ينبغي أن يلهو مع من يلهو ولا يسهو مع من يسهو ولا يلغو مع من يلغو تعظيما لحق القرآن

“Para penghafal Al-Qur’an adalah pembawa bendera Islam, tidak patut dia bermain bersama orang yang bermain dan lupa bersama orang yang lupa, serta tidak berbicara yang sia-sia orang lain karena untuk mengagungkan Al-Qur’an”.

3. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus menjaga diri dari pekerjaan yang rendah. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an tidak boleh menjerumuskan diri pada pekerjaan yang tidak halal, pekerjaan yang menjatuhkan diri pada lembah dosa dan hina.

4. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus berjiwa mulia. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an harus memiliki jiwa yang bersih dari segala prasangka yang buruk kepada orang lain, mejaga lisan dan perbuatannya. Tidak patut bagi penghafal Al-Qur’an kasar (sikapnuya), pelupa, lantang suaranya dan pemarah.

5. Seorang “hamil” Al-Qur’an lebih tinggi derajatnya daripada penguasa yang sombong dan pecinta dunia yang jahat. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an tidak merendahkan diri dan merasa hina di hadapan penguasa yang angkuh, demikian pula tidak menjadi “hamba” pengais dunia. Imam Fudhai bin Iyadh berkata: “penghafal Al-Qur’an tidak boleh meminta keperluannya dari seorang khalifah (penguasa) dan dari orang yang berada di bawah kekuasannya”.

6. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus tawadhu’ kepada orang-orang saleh, orang baik dan orang miskin. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an harus santun kepada semua orang, utamanya kepada orang-orang saleh, dan menyayangi orang miskin.

7. Seorang “hamil” Al-Qur’an harus khusyuk jiwanya, tenang dan berwibawa. Artinya seorang “hamil” Al-Qur’an hendaknya memiliki jiwa yang tenang dalam penampilannya, sabar menjaga dan memelihara hafalannya, wibawa dalam ucapannya. (imam Nawawi, al-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Nafais, 1992, hal 43).

8. Seorang “hamil” Al-Qur’an tidak boleh menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber penghasilannya atau sandaran hidupnya dari membaca Al-Qur’an. Tidak sepantasnya seorang penghafal Al-Qur’an butuh kepada orang lain, tapi sebaiknya ia mampu memenuhi kebutuhan orang lain. Nabi mengingatkan kepada para “hamil” Al-Qur’an untuk senantiasa berhati-hati tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pengahasilannya dalam hidup. Beliau bersabda:

اقرؤوا القرآن ولا تأكلوا به ولا تجفوا عنه ولا تغلوا فيه

“Bacalah Al-Qur’an dan jangan menggunakannya untuk mencari makan, jangan menjauhinya dan jangan melampau batas di dalam ajarannya”.

Berkaitan dengan masalah ini, Sayyidina Umar memberi suntikan motifasi kepada para “hamil” Al-Qur’an untuk selalu berlomba-lomba melakukan kebaikan dan tidak bergantung diri kapada orang lain.

يا معشر القراء ارفعوا رؤوسكم فقد وضح لكم الطريق فاستبقوا الخيرات لا تكونوا عيالا على الناس

“Wahai para qari’ Al-Qur’an, angkatlah kepalamu! Jalan telah jelas bagimu, maka berlomba-lombalah kamu untuk melakukan kebaikan dan janganlah kamu menggantungkan diri kepada orang lain”.

Imam al-Mujahid ketika memilih para imam Qira’at Al-Qur’an sebagai standar dan rujukan di dunia Islam, selain karena kemahiran dan kealimannya, dia memperhatikan soal konsistensinya dalam bidang Al-Qur’an, yang mana mereka tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sandaran dan penopang hidupnya. Imam al-Syatibi berkata:

تخيرهم نقادهم كل بارع *** وليس على قرآنه متأكلا

“Para kritikus ulama memilih mereka (para imam qira’at) yang baik, mengamalkan ilmunya dan tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sandaran hidupnya,” (Imam al-Syatibi, Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahani fi al-Qir’at al-Sab’I. Saudi: Maktabah Dar al-Huda, 2010, hal 3).

9. Seorang “hamil” Al-Qur’an hendaknya selalu mengulang hafalannya, tidak mengabaikan amanat agung yang dianugrahkan kepadanya, utamanya dibaca dan muraja’ah pada malam hari, sebab pada malam hari adalah waktu yang mustajab. Sahabat Abdullah bin Mas’ud menganjurkan kepada para penghafal Al-Qur’an untuk menggunakan kesempatan dengan baik, saat orang lain dalam lalai. Beliau berkata:

ينبغي لحامل القرآن أن يعرف بليله إذا الناس نائمون وبنهاره إذا الناس مفطرون وبحزنه إذا الناس يفرحون وببكائه إذا الناس يضحكون وبصحته إذا الناس يخوضون، وبخشوعه إذا الناس يختالون

“Sebaiknya seorang yang hafal Al-Qur’an membaca Al-Qur’an di malam hari tatkala manusia tidur, disiang hari tatkala manusia sedang sibuk, bersedih tatkala manusia bersuka ria, menangis tatkala manusia tertawa, diam tatkala manusia bercengkrama, khusyuk tatkala manusia berjalan dengan sombong.”

Selain itu, menurut al-Ajurri al-Baghdadi, para “hamil” Al-Qur’an harus memiliki sifat takwa kepada Allah, wara’ dalam penampilan hidup nya; konsumsi hidupnya, pakaiannya, tempat tinggalnya, faham dengan situasi zamannya. (al-Ajurri Al-Baghdadi, Akhlaq Ahl Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003, hal 78).

Dari semua etika yang telah disebutkan di atas, ada etika yang paling penting bagi para “hamil” Al-Qur’an untuk ditanamkan dalam jiwanya jika ingin mendapatkan ridha dan surga-Nya, yaitu menata niat dengan tulus hanya karena Allah, bukan untuk mendapatkan harta dan kedudukan. Jika niatnya salah, maka Al-Qur’an tidak akan memberikan syafa’at kepadanya, justru laknat yang ia didapatkan. Imam Ibnu al-Jauzi mengingatkan lewat sebuah syair, sebagaimana dikutip oleh Mustafa Murad, kepada seluruh para “hamil” Al-Qur’an agar senantiasa menata niat dengan baik dan tulus dalam menghafal Al-Qur’an agar mendapatkan ridha dan surga-Nya.

عَظُمَتْ مصيبة حامل القرأن *** إن كان ملجؤه إلى النيران

"Besar musibah para penghafal Al-Qur’an, jika tempat kembalinya ke neraka."

فهي الجزاء لمن عصا رب العلا *** دار العذاب وموقف الخسران

"Ia adalah balasan bagi orang yang melakukan kemaksiatan kepada Tuhan yang Maha Tinggi, (kembali) ke rumah adzab dan tempat penyesalan."

عظمت خسارته وجل مصابه *** عند الصراط بظلمة وهوان

"Besar penyesalannya dan besar musibahnya, saat melewati “sirat” dengan gelap dan hina."

يارب عفوا عن قبيح فعالنا *** أنت الدليل لجنة الرضوان

"Wahai Tuhan, ampunilah, dari buruknya perbuatan kami, Engkau adalah petunjuk untuk menuju surga-Nya."

 

Sumber : NU Online

Posting Komentar untuk "Adab Menghafal Al Quran"