Biografi Gus Baha, K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim
Biografi Gus Baha, K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim
Nama Asli Gus Baha
K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha' adalah salah satu ulama Nahdlatul Ulama' (NU) yang berasal dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Gus Baha' dikenal sebagai salah satu Ulama ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar al-Qur'an. Ia merupakan salah satu murid dari ulama kharismatik, K.H. Maemun Zubair, Rembang.
Sumber : wikipedia
Silsilah Gus Baha
Gus Baha adalah putra seorang ulama’ ahli Qur’an KH. Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang, sebuah desa di pesisir utara pulau jawa. Silsilah keluarga dari garis ibunya merupakan silsilah keluarga besar ulama’ Lasem, Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu yang pesareannya ada di area Masjid Jami’ Lasem, sekitar setengah jam perjalanan dari pusat Kota Rembang.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU) K.H.
Said Aqiel Siradj dalam suatu kesempatan memaparkan tentang silsilah nasab Gus
Baha. Kata Kiai Said, Gus Baha adalah tokoh NU yang sangat dihormati. Ia adalah
keturunan dari para ulama-ulama besar yang memang mumpuni dalam ilmu agama.
Nasabnya bahkan sampai ke Brawijaya V
Berikut Nasab Gus Baha seperti yang disampaikan Kiai Said dalam chanel youtube ngaji online, Gus Baha Bin Nyai Yuhanid, Binti Nyai Fathimah, Binti Nyai Hafshoh, Binti Kiai Ma’shum, Bin Kiai Sholeh, Bin Asnawai Sepuh, Binti Nyai Muziroh, Binti Nyai Ulfiah, Binti Mbah Mutamakin, Bin Sumonegoro, Bin Sumoningrat, Bin Hadi Wijoyo alias Joko Tingkir, Bin Sunan Pengging, Bin Pamundayan, Bin Brawijaya V (Raja terakhir Majapahit)
Kiai Said juga mengakui kehebatan Gus Baha dalam menyampaikan sebuah ilmu. Sosok seperti Gus Baha adalah hadiah dari Allah untuk warga NU dan umat Islam Indonesia, di mana kehadirannya selalu banyak dinantikan oleh umat untuk memberikan pencerahan spiritual.
Gus Baha diketahui tidak pernah kuliah. Ia hanya mengampu pendidikan dari 2 pesantren, yakni pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan PP. Al Anwar Karangmangu milik Syaikhina Maimoen Zubair. Selain sederhana, Ia juga dikenal sebagai santri yang cerdas mampu menghafal kitab-kitab klasik. Tak ayal, ia dijuluki sebagai santri kesayangan Mbah Maimoen.
Sumber : Muslim Obsession
Pendidikan Gus Baha
Gus Baha’ kecil mulai menempuh gemblengan keilmuan dan hafalan al-Qur’an di bawah asuhan ayahnya sendiri. Di usia yang masih sangat muda, beliau sudah mengkhatamkan al-Qur’an beserta qira’ah dengan lisensi yang ketat dari ayahnya. Memang, karakteristik bacaan dari murid-murid Mbah Arwani menerapkan keketatan dalam tajwid dan makharijul huruf.
Menginjak usia remaja, Kiai Nursalim menitipkan Gus Baha’ untuk mondok dan berkhidmat kepada Syaikhina KH. Maimoen Zubair di Pondok Pesantren Al Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang, sekitar 10 km arah timur Narukan. Di Al-Anwar inilah beliau terlihat sangat menonjol dalam ilmu syari’at seperti fikih, hadits dan tafsir.
Hal ini terbukti dari beberapa amanat prestisius keilmiahan yang diemban oleh beliau selama mondok di Al Anwar, seperti Rais Fathul Mu’in dan Ketua Ma’arif di jajaran kepengurusan PP. Al Anwar. Saat mondok di sana pula beliau mengkhatamkan hafalan Shahih Muslim lengkap dengan matan, rawi dan sanadnya.
Selain Shahih Muslim beliau juga mengkhatamkan hafalan kitab Fathul Mu’in dan kitab-kitab gramatika Arab seperti ‘Imrithi dan Alfiah Ibnu Malik. Menurut sebuah riwayat, dari sekian banyak hafalan, beliau lah santri pertama Al Anwar yang memegang rekor hafalan terbanyak di eranya. Bahkan tiap-tiap musyawarah yang akan beliau ikuti akan serta merta ditolak oleh kawan-kawannya, sebab dianggap tidak berada pada level santri pada umumnya karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan banyaknya hafalan beliau.
Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga sosok santri yang dekat dengan kiainya. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi gurunya Syaikhina Maimoen Zubair untuk berbagai keperluan. Mulai dari sekadar berbincang santai, hingga urusan mencari ta’bir, menerima tamu-tamu ulama’-ulama’ besar yang berkunjung ke Al Anwar, dan dijuluki sebagai santri kesayangan Syaikhina Maimoen Zubair.
Pada suatu ketika beliau dipanggil untuk mencarikan ta’bir tentang suatu persoalan oleh Syaikhina, karena saking cepatnya ta’bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga Syaikhina pun terharu dan ngendikan “Iyo Ha’, koe pancen cerdas tenan.” (Iya Ha’, kamu memang benar-benar cerdas).
Selain itu Gus Baha’ juga kerap dijadikan contoh teladan oleh Syaikhina saat memberikan mawa’idzah di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal. “Santri tenan iku yo koyo Baha’ iku,” (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha’ itu) kurang lebih seperti itulah ngendikan Syaikhina yang riwayatnya sampai ke penulis.
Dalam riwayat pendidikan, semenjak kecil hingga beliau mengasuh pesantren warisan ayahnya sekarang, beliau hanya mengenyam pendidikan dari 2 pesantren, yakni pesantren ayahnya sendiri di desa Narukan dan PP. Al Anwar Karangmangu. Ketika sang ayah menawarkan kepadanya untuk mondok di Rushaifah atau Yaman, beliau lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamater, Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah PP. Al Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.
Kepribadian Gus Baha
Setelah menyelesaikan pengembaraan ilmiahnya di Sarang, beliau menikah dengan seorang Neng pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Ada cerita menarik sehubungan dengan pernikahan beliau. Diceritakan, setelah acara lamaran selesai, beliau menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu yang menjadi kenangannya hingga kini. Beliau mengutarakan bahwa kehidupannya bukanlah model kehidupan yang mewah, melainkan sangat sederhana, dan berusaha meyakinkan calon mertuanya untuk berpikir ulang atas rencana pernikahan tersebut dengan maksud, agar ia tidak kecewa di kemudian hari. Calon mertuanya hanya tersenyum dan menyatakan “klop” alias sami mawon kalih kulo.
Saat berangkat ke Sidogiri untuk melangsungkan upacara akad nikah yang telah ditentukan waktunya, beliau berangkat sendiri ke Pasuruan dengan menumpang bus regular, bus biasa kelas ekonomi. Berangkat dari Pandangan menuju Surabaya, selanjutnya disambung bus kedua menuju Pasuruan.
Kesederhanaan beliau bukanlah sebuah kebetulan, namun merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil. Beliau hidup sederhana bukan karena keluarganya miskin. Silsilah keluarga dari pihak ibu, atau lebih tepatnya lingkungan keluarga di mana beliau diasuh semenjak kecil, tiada satu keluargapun yang miskin. Bahkan kakek beliau dari jalur ibu merupakan juragan tanah di desanya. Saat dikonfirmasi oleh penulis perihal kesederhanaannya, beliau menyatakan bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur’an yang dipegang erat sejak zaman leluhurnya.
Salah satu wasiat ayahnya adalah agar beliau menghindari keinginan untuk menjadi “manusia mulia” dari pandangan kerumuman makhluk atau lingkungannya. Hal inilah yang hingga kini mewarnai kepribadian dan kehidupan sehari-hari.
Setelah menikah, beliau mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya dan menetap di Yogyakarta sejak 2003. Selama di Yogya, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya, berpindah dari satu lokasi kelokasi lain. Semenjak hijrah ke Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan induknya.
Hingga pada akhirnya mereka menyusul beliau ke Yogya, patungan menyewa rumah di dekat rumah beliau. Tiada tujuan lain selain untuk tetap bisa mengaji kepadanya. Ada sekitar 5 atau 7 santri alumni Al Anwar maupun MGS yang ikut beliau ke Yogya saat itu. Di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar yang akhirnya minta ikut mengaji kepada beliau.
Pada tahun 2005 KH. Nursalim jatuh sakit. Beliau pulang sementara waktu untuk ikut merawat sang ayah bersama keempat saudaranya. Namun siapa sangka, beberapa bulan kemudian Kiai Nursalim wafat. Gus Baha’ tidak dapat lagi meneruskan perjuangannya di Yogya sebab diamanati oleh ayahnya untuk melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di LP3IA Narukan.
Banyak yang merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan. Para santri sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Yogya. Beliau pun bersedia namun hanya satu bulan sekali, dan itu berjalan hingga kini. Selain mengasuh pengajian, beliau juga mengabdikan dirinya di Lembaga Tafsir Al-Qur’an Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Beliau juga diminta untuk mengasuh Pengajian tafsir al-Qur’an di Bojonegoro, Jawa Timur. Di Yogya mendapat gilirang minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya. Hal tersebut dijalani secara rutin sejak 2006 hingga kini.
Beliau adalah Ketua Tim Lajnah Mushaf UII. Timnya terdiri dari para Profesor, Doktor, dan ahli-ahli al-Qur’an seantero Indonesia seperti Prof. Dr. Quraisy Syihab, Prof. Zaini Dahlan, Prof. Shohib dan para anggota Dewan Tafsir Nasional lain.
Ketika ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII,
beliau tidak berkenan. Dalam jagat Tafsir al-Qur’an di Indonesia, beliau
termasuk pendatang baru dan satu-satunya dari jajaran Dewan Tafsir Nasional
yang berlatar belakang pendidikan non formal dan non gelar. Meski demikian, kealiman
dan penguasaan keilmuan beliau sangat diakui oleh para ahli tafsir nasional.
Pada suatu kesempatan pernah diungkapkan oleh Prof. Quraisy bahwa kedudukan beliau di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai Mufassir, juga sebagai mufassir fakih karena penguasaan beliau pada ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam al-Qur’an. Setiap kali lajnah menggarap tafsir dan Mushaf al-Qur’an, posisi beliau selalu di dua keahlian, yakni sebagai mufassir seperti anggota lajnah yang lain, juga sebagai fakihul Qur’an yang mempunyai tugas khusus mengurai kandungan fikih dalam ayat-ayat ahkam al-Qur’an.
Sumber : mahad aly jakarta
Kitab Karangan Gus Baha
Buku حفظنا لهذا المصحف berkenaan penjelasan rasm usmani disempurnakan umpama dan penjelasan yang disadur berasal dari buku al-Muqni’ karya Abu ‘Amr Usman bin Sa’id ad-Dani (w. 444 H.)
Buku tipis yang ditulis oleh Ahmad Bahauddin bin Nur Salim berasal dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah ini amat berfaedah bagi saya untuk mengetahui bagaimana mengetahui karakteristik penulisan al-Qur’an di didalam mushaf rasm usmani. Dan ini sekaligus menjadi alasan saya menulis resensi ini, semoga bisa menambahkan faedah bagi yang membaca.
Realitas hari bisa kita cross-ceck dengan di lapangan, bahwa banyak sekali para penghafal al-Qur’an namun tidak punyai kebolehan yang baik di didalam gramatika bhs arab. Dan banyak sekali yang mempunyai kebolehan gramatika bhs arab yang luar biasa namun tidak diberikan keutamaan hafal al-Qur’an. Belum lagi para mahasiswa yang menyita belajar al-Qur’an dan hadits, baik berasal dari yang strata satu, magister, bahkan doktoral, tidak semua hafal al-Qur’an. Dan lagi berapa pengajar yang termasuk tidak hafal al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa menurut saya yang mempunyai “dua pedang” berikut (baca: hafal dan menguasai gramatika arab) amat sedikit sekali. Gus Baha’ (begitu sapaan akrab pengarang buku di atas) adalah salah satu berasal dari sedikit yang mempunyai dua pedang berikut (selengkapnya berkenaan Gus Baha’ silakan baca: Sekilas Tentang Gus Baha’ Rembang).
Di didalam bukunya ia menyatakan bahwa sebenarnya rasm usmani merupakan warisan yang wajib dijaga. Cara menjaganya tidak hanya dengan menghafalkan, namun termasuk dicermati dengan detil bagaimana cara penulisan dan karakteristik rasm usmani tersebut. Sebab mushaf usmani ini tidak ditulis dengan metode imla’ yang senantiasa sama di didalam al-Qur’an. Hal inilah yang mendasari alasan Gus Baha’ yang berpendapat bahwa bhs itu riwayat, tidak hanya sekedar kaidah. Oleh karena itu banyak sekali penulisan-penulisan atau lafadz-lafadz yang benar secara kaidah i’lal, disaat tidak cocok dengan bhs arab secara sama’i maka tidak bisa dikiyaskan.
Misalnya di didalam penulisan مالك (mim ditulis panjang dengan alif di pada mim dan lam) –ini menurut qira’at ‘Ashim riwayat berasal dari Hafs– penulisan layaknya ini benar dan diperbolehkan. Namun ternyata penulisan layaknya itu bukan menurut rasm usmani. Sedangkan di didalam rasm usmani ditulis dengan ملك (mimnya dibaca pendek, ini menurut qira’atnya Qalun). Pada penulisan سُكارى dengan mengikuti wazan فُعالى namun di didalam rasm usmani ditulis سَكْرى ini mengakomodir qira’at Hamzah dan Kisa’i dengan mengikuti wazan فَعْلى .
Dari kedua umpama di atas berkenaan perbedaan-perbedaan qira’at dan cara penulisan rasm usmani bisa ditarik hepotesisnya bahwa amat urgen sekali untuk diketahui oleh pecinta al-Qur’an. Sebab ternyata mushaf cetakan Indonesia banyak yang tidak mengikuti standar rasm usmani, kendati perihal layaknya demikianlah tidak dilarang. Namun jikalau jikalau membaca sebagian macam mushaf dan menemukan penulisan yang asing, pembaca tidak kebingungan bagaimana bacanya.
Keistimewaan berasal dari buku ini yakni disempurnakan dengan tabel-tabel yang menyatakan postingan asli rasm usmani dan style penulisan yang kontemporer. Jadi pembaca tidak wajib membaca dengan detil ulasan-ulasannya, cukup dengan mencermati tabel saja. Hal ini amat menunjang termasuk di didalam mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada di didalam sebagian mushaf. Buku ini amat menunjang sekali di didalam menambah perhatian para pecinta al-Qur’an, baik yang menghafalkan maupun yang mengkaji. Ini termasuk anggota berasal dari bisnis beliau di didalam menjaga keotentikan rasm usmani yang tidak hanya dijaga secara hafalan, namun termasuk dengan penulisan.
Semoga Allah senantiasa merahmati guru saya ini (Bahauddin). Banyak kekurangan di didalam penulisan udah sepatutnya saya sebagai manusia. Ada kebenaran di dalamnya sekedar dikarenakan keutamaan berasal dari Allah.
Sumber : Kalam Ulama
Posting Komentar untuk "Biografi Gus Baha, K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim"