Pengertian Tawassul dan Macam-Macamnya
Pengertian Tawassul dan Macam-Macamnya

Pengertian Tawassul
Tawassul dapat diartikan sebagai berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara itu berupa amal baik kita ataupun melalui orang-orang sholeh yang dianggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah.
Dalam kamus Al Misbah Al Munir, Tawassul didevinisikan sebagai berikut,
أَلْوَسِيْلَةُ
وَهِيَ مَا يُتَقَرَّبُ اِلَى الشَّيْئِ وَتَوَسَّلَ اِلَى رَبِّهِ بِوَسِيْلَةِ تَقَرُّبٍ
اِلَيْهِ بِعَمَلِهِ
Artinya: “Wasilah adalah sesuatau yang digunakan untuk
mendekatkan diri kepada sesuatu yang lain. seseorang bertawassul kepada
Tuhannya melalui wasilah (media) Taqorrub dengan amal ibadahnya.”
Pengertian lain dalam al-Ajwibah al-Ghaliyah fi Aqidah al-Firqoh an-Najiyah dalam Fiqh Tradisionalis dijelaskan,
اَلتَّوَسُّلُ
بِأَحْبَابِ اللهِ هُوَ جَعَلَهُمْ وَاسِطَةً إِلَى اللهِ تَعَالَى فِى قَضَاءِ الْحَوَائِجِ
لِمَا ثَبَتَ لَهُمْ عِنْدَهُ تَعَالَى مِنَ الْقَدْرِ وَالْجَاهِ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّهُمْ
عَبِيْدٌ وَمَخْلُوْقُوْنَ وَلَكِنَّ اللهَ جَعَلَهُمْ مَظَاهِرُ لِكُلِّ خَيْرٍ وَبَرَكَةٍ
وَمَفَاتِيْحُ لِكُلِّ رَحْمَةٍ
Artinya: “Tawassul adalah memohon kepada Allah swt
melalui perantara orang-orang yang dicintai-Nya, seperti para Nabi dan Wali.
Dikarenakan mereka adalah orang-orang yang telah diridhoi dan telah diberi
derajat yang tinggi di sisi Allah swt.”
Dalam hal-hal yang berkaitan dengan tawassul Sayyid
Muhammad bin Alwi Al-Maliki menjelaskan dalam kitabnya Mafahim Yajibu an
Tushahhah bahwa tawassul dapat dipahami sebagai berikut,
أولا: أن
التوسل هو أحد طرق الدعاء وباب من أبواب التوجه إلى الله سبحانه وتعالى، فالمقصود الأصلي
الحقيقي هو الله سبحانه وتعالى، والمتوسَّل به إنما هي واسطة ووسيلة للتقرب إلى الله
سبحانه وتعالى، ومن اعتقد غير ذلك فقد أشرك
ثانيا: أن
المتوسِّل ما توسل بهذه الواسطة إلا لمحبته لها واعتقاده أن الله سبحانه وتعالى يحبه،
ولو ظهر خلاف ذلك لكان أبعد الناس عنها وأشد الناس كراهة لها
ثالثا: أن
المتوسِّل لو اعتقد أن من توسل به إلى الله ينفع ويضر بنفسه مثل الله أو دونه فقد أشرك
رابعا: أن
التوسل ليس أمرا لازما أو ضروريا وليست الإجابة متوقفة عليه، بل الأصل دعاء الله تعالى
مطلقا كما قال تعالى وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ و كما قال
تعالى قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ
الْحُسْنَى
Artinya, “Pertama, tawasul adalah salah satu cara doa dan
salah satu pintu tawajuh kepada Allah SWT. Tujuan hakikinya itu adalah Allah.
Sedangkan sesuatu yang dijadikan tawasul hanya bermakna jembatan dan wasilah
untuk taqarrub kepada-Nya. Siapa saja yang meyakini di luar pengertian ini
tentu jatuh dalam kemusyrikan,”
Kedua, orang yang bertawasul takkan menyertakan
wasilahnya dalam doa kecuali karena rasa cintanya kepada wasilah tersebut dan
karena keyakinannya bahwa Allah juga mencintainya. Kalau yang muncul berlainan
dengan pengertian ini, niscaya ia adalah orang yang paling jauh dan paling
benci dengan wasilahnya.”
Ketiga, ketika meyakini bahwa orang yang dijadikan
wasilah kepada Allah dapat mendatangkan mashalat dan mafsadat dengan sendirinya
setara atau lebih rendah sedikit dari Allah, maka orang yang bertawasul jatuh
dalam kemusyrikan.”
Keempat, praktik tawasul bukan sesuatu yang mengikat dan
bersifat memaksa. Ijabah doa tidak bergantung pada tawasul, tetapi pada
prinsipnya mutlak sekadar permohonan kepada Allah sebagai firman-Nya, ‘Jika
hamba-Ku bertanya tentang-Ku kepadamu (hai Muhammad), sungguh Aku sangat
dekat,’ atau ayat lainnya, ‘Katakanlah hai Muhammad, ‘Serulah Allah atau
serulah Yang Maha Penyayang. Panggilan mana saja yang kalian gunakan itu,
sungguh Allah memiliki nama-nama yang bagus.
Macam-Macam Tawassul
Macam-macam tawassul dapat dibagi pada 4 bab pembahasan
sebagi berikut :
Yang pertama, tawassul bi asmaillah (tawassul dengan nama Allah). Tawassul ini adalah tawasul yang paling tinggi. Misalnya dengan perkataan a‘ûdzu biqudratillah, a‘udzu bi izzatillah dan yang lainnya. Seperti tawasul kepada Allah agar disembuhkan dari sakit. Tawassul ini juga bisa dilakukan dengan menyebut asmaul khusna, secara lengkap atau sebagian. Atau dengan ismul a'dham. Ismul a'dham, menurutnya merupakan password berdoa. Ismul a'dham ini disamarkan, tetapi bisa dipelajari, misalnya dalam kitab Imam Nawawi, Fatawa Nawawi, disebutkan tentang ismul a'dham.
Kedua, tawasul bi a'mal shalihat (tawassul dengan amal
yang baik). Dalam kitab Riyadus Shalihin dikisahkan ada 3 orang sahabat yang
dalam perjalanan mereka menemukan gua. Karena penasaran, ketiganya memasuki gua
tersebut. Saat sudah masuk, tiba-tiba ada angin kencang, yang merobohkan batu
besar sehingga menutupi gua. Mereka mengalami kesulitan, seminggu tidak makan,
dan memanggil-manggil orang tidak ada yang dengar, lalu ketiganya muhasabah.
Seorang dari mereka berdoa dan bertawassul dengan perbuatan birrul walidain
(berbuat baik kepada orang tua). Akhirnya batu terdorong angin besar, dan ada
sinar matahari. Kemudian yang lain berdoa dengan amal unggulannya, akhirnya
batu tergeser sedikit demi sedikit.
وعن أبي عَبْد
الرَّحْمَن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخطَّابِ، رضيَ اللهُ عنهما قَالَ: سَمِعْتُ
رسولَ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يَقُولُ: “انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى آوَاهُمُ الْمبِيتُ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ، فانْحَدَرَتْ
صَخْرةٌ مِنَ الْجبلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمْ الْغَارَ، فَقَالُوا: إِنَّهُ لاَ يُنْجِيكُمْ
مِنْ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوا الله تعالى بصالح أَعْمَالكُمْ قَالَ رجلٌ مِنهُمْ:
اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوانِ شَيْخَانِ كَبِيرانِ، وكُنْتُ لاَ أَغبِقُ قبْلهَما
أَهْلاً وَلا مالاً فنأَى بِي طَلَبُ الشَّجرِ يَوْماً فَلمْ أُرِحْ عَلَيْهمَا حَتَّى
نَامَا فَحَلبْت لَهُمَا غبُوقَهمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِميْنِ، فَكَرِهْت أَنْ أُوقظَهمَا
وَأَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدِى
أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُما حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ وَالصِّبْيَةُ يَتَضاغَوْنَ عِنْدَ
قَدَمى فَاسْتَيْقظَا فَشَربَا غَبُوقَهُمَا. اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ
ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَة، فانْفَرَجَتْ
شَيْئاً لا يَسْتَطيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهُ.
قَالَ الآخر:
اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانتْ لِيَ ابْنَةُ عمٍّ كانتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ”وفي رواية:
“كُنْتُ أُحِبُّهَا كَأَشد مَا يُحبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءِ، فَأَرَدْتُهَا عَلَى
نَفْسهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ فَجَاءَتْنِى
فَأَعْطَيْتُهِا عِشْرينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ
نَفْسِهَا ففَعَلَت، حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا”وفي رواية: “فَلَمَّا قَعَدْتُ
بَيْنَ رِجْليْهَا، قَالتْ: اتَّقِ اللهَ وَلاَ تَفُضَّ الْخاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ،
فانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهِىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِليَّ وَتركْتُ الذَّهَبَ الَّذي أَعْطَيتُهَا،
اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعْلتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ
فِيهِ، فانفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ غَيْرَ أَنَّهُمْ لا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا.
وقَالَ الثَّالِثُ:
اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجرَاءَ وَأَعْطَيْتُهمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ
وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذي لَّه وَذَهبَ فثمَّرت أجْرَهُ حَتَّى كثرت منه الأموال فجائنى
بَعدَ حِينٍ فَقالَ يَا عبدَ اللهِ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي، فَقُلْتُ: كُلُّ مَا تَرَى
منْ أَجْرِكَ: مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَم وَالرَّقِيق فقالَ: يا عَبْدَ
اللَّهِ لا تَسْتهْزيْ بي، فَقُلْتُ: لاَ أَسْتَهْزيُ بِكَ، فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فاسْتاقَهُ
فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْه شَيْئاً، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتغَاءَ
وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ، فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فخرَجُوا يَمْشُونَ
“متفقٌ عليه
“Abu Abdurrohman, Abdulloh bin ‘Umar bin Khottob
rodhiallohu ‘anhu berkata, aku mendengar Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam
bersabda, _“Tiga orang dari kaum sebelum kalian berjalan-jalan hingga mereka
bermalam disebuah gua. (Tiba-tiba), sebuah batu besar jatuh dari gunung, dan
menutup pintu gua. Mereka berkata,”Tidak akan ada yang dapat menyelamatkan kita
dari batu besar ini, kecuali jika kita berdoa kepada Alloh dengan amal baik
kita.”
Orang pertama berkata, “Ya Alloh, aku memiliki dua orang
tua yang lanjut usia. Aku tidak pernah mendahulukan keluarga atau budak untuk
minum susu (di sore hari) sebelum mereka berdua. Pada suatu hari, aku terlalu
jauh mencari pepohonan (kayu bakar) hingga aku tidak pulang kecuali keduanya
sudah tidur. Lalu aku memerah susu untuk mereka, tapi mereka sudah tidur.
Aku tidak ingin membangunkan mereka, tapi aku juga tidak
ingin memberikan susu itu kepada keluargaku (anak dan istri) atau budak. Gelas
itu tetap di tanganku menanti kedua orang tuaku bangun hingga fajar terbit.
Padahal, anak-anak yatadhoghouna (menjerit kelaparan) di kakiku.
Keduanya (ayah dan ibu) bangun lalu meminum air susu itu.
Ya Alloh, jika perbuatanku itu untuk ibtigho’a wajhika (mengharap wajah-Mu),
maka singkirkanlah batu ini.” Batu itupun bergeser, namun mereka belum bisa
keluar.
Laki-laki
yang lain berkata, “Ya Alloh, sesungguhnya aku memiliki sepupu wanita yang
sangat aku cintai.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku sangat mencintainya,
sebagaimana seorang laki-laki mencintai seorang wanita. Fa-arodtuhaa (aku
menginginkan dirinya) (ingin menggaulinya), namun dia selalu menolak. Ketika ia
ditimpa paceklik, ia datang meminta bantuan kepadaku. Aku memberinya 120 dinar
dengan syarat dia mau menyerahkan dirinya untukku. Diapun setuju.
Ketika aku sudah menguasainya…” Didalam riwayat lain
disebutkan “Ketika aku bersiap menggaulinya, ia berkata, ‘bertakwalah kepada
Allah dan laa tafuddho khootam (jangan kamu pecahkan tutup) kecuali dengan cara
yang sah’. Maka aku meninggalkannya, padahal dia adalah orang yang paling aku
cintai.
Emas (dinar) yang kuberikan kepadanya tidak aku ambil
lagi. Ya Alloh, jika perbuatanku itu untuk mencari keridhoan-Mu, maka berilah
kami jalan keluar dari cobaan ini.” Batu itupun bergeser namun mereka belum
juga bisa keluar.
Laki-laki ketiga berkata, “Ya Alloh, aku mempunyai
sejumlah buruh. Aku berikan gaji mereka, kecuali satu orang. Ia pergi (begitu
saja) dan tidak mengambil gajinya. Fatsammartu (lalu aku kembangkan gajinya)
itu, hingga menjadi banyak.
Beberapa tahun kemudian, ia datang kepadaku seraya
berkata, ‘Tuan, berikan gajiku (yang dulu).’ Aku berkata, ‘Semua yang kamu
lihat : unta, sapi, kambing dan budak, adalah gajimu.’
‘Tuan, Anda jangan menghinaku.’ ‘Aku tidak menghinamu.’ Lalu ia mengambil seluruhnya. Ia menggiring seluruh ternak itu dan tidak menginggalkan satu pun.
Ya Alloh, jika perbuatanku itu untuk mencari keridhoan-Mu, maka berikan kepada kami jalan keluardari cobaan ini.” Maka batu itupun bergeser dan mereka bisa keluar” [Muttafaq ‘Alaih].
Ketiga, tawassul bis shalihin (tawassul dengan
orang-orang shalih). Tawasul kepada orang-orang shalih, baik masih hidup atau
sudah meninggal. Apa bisa tawasul kepada yang masih hidup. Diceritakan dalam
hadits shahih, ada salah satu sahabat buta, yang ingin bisa melihat, kemudian
ia tawassul Allahumma inni as'aluka wa atawajjahu bi nabiyyika fi hajati
hadzihi... (Ya Allah saya meminta dan menghadapmu dengan wasilah kepada Nabi
dalam memenuhi kebutuhan saya ini...). Akhirnya sahabat tersebut bisa melihat.
عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله ﷺ وجاءه رجل ضرير فشكا إليه ذهاب صره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال رسول الله ﷺ : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعني في نفسى، قال عثمان :فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر
“Dari ‘Usman bin Hunaif R.A., beliau berkata; “Aku mendengar Rasulullah ﷺ saat ada seorang lelaki buta datang mengadukan matanya yang tidak berfungsi kepadanya, lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah ﷺ, aku tidak punya pemandu dan sangat payah. Beliau bersabda: ‘Pergilah ke tempat wudhu, berwudhu, shalatlah dua raka’at, kemudian berdoalah (dengan redaksi): ‘Wahai Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu, dengan (menyebut) Nabi-Mu Muhammad ﷺ, nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadap kepada Tuhan-Mu dengan menyebutmu, karenanya mataku bisa berfungsi kembali. Ya Allah terimalah syafaatnya bagiku, dan tolonglah diriku dalam kesembuhanku.’ ‘Utsman berkata: ‘Demi Allah kami belum sempat berpisah dan perbincangan kami belum begitu lama sampai lelaki itu datang (ke tempat kami) dan sungguh seolah-olah ia tidak pernah buta sama sekali’.” (HR. Al-Hakim, At-Tirmidzi dan Al-Baihaqi. Shahih)
Keempat, tawassul bi dzat (tawassul dengan dzat). Cara
melakukan tawassul macam ini, misalnya bi jahi (dengan kedudukan), bi hurmati
(dengan kemuliaan), bi karamati (dengan kemurahan). Shalawat Nariyah merupakan
tawassul bi dzat. Tawassul yang keempat ini diperselisihkan oleh para ulama'.
"Menurut sebagian besar ulama, tawassul dengan empat macam di atas tidak
masalah, tetapi menurut Ibn Taimiyah, semua tawassul bisa diterima secara
syariat kecuali tawassul bi dzat,
Referensi Tawassul Dalam Kitab Kuning
التوسل بالأنبياء والأولياء في حياتهم وبعد وفاتهم مباح شرعاً
، كما وردت به السنة الصحيحة... نعم ينبغي تنبيه العوام على ألفاظ تصدر منهم تدل على
القدح في توحيدهم، فيجب إرشادهم وإعلامهم بأن لا نافع ولا ضارّ إلا الله تعالى، لا
يملك غيره لنفسه ضرّاً ولا نفعاً إلا بإرادة الله تعالى، قال تعالى لنبيه عليه الصلاة
والسلام: قل إني لا أملك لكم ضرّاً ولا رشداً اهـ.
Artinya, “Tawasul kepada para nabi dan para wali ketika mereka hidup atau setelah mereka wafat adalah mubah menurut syar‘i sebagai tersebut dalam hadits shahih... Tetapi masyarakat awam perlu diingatkan terkait dengan kalimat-kalimat yang dapat mencederai tauhid mereka. Bimbingan dan pemberitahuan untuk mereka wajib dilakukan bahwa tiada yang dapat mendatangkan manfaat dan mudharat selain Allah. Tiada yang berkuasa untuk mendatangkan manfaat dan mudharat kecuali dengan kehendak-Nya. Dalam Surat Jin ayat 21, Allah berfirman kepada Nabi Muhammad SAW, ‘Katakanlah, aku tak kuasa mendatangkan mudharat dan petunjuk kepada kalian,’” (Lihat Abdurrahman Ba‘alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Beirut, Darul Fikr, halaman 639).
ومحل الخلاف في مسألة التوسل هو التوسل بغير عمل المتوسِّل
كالتوسل بالذوات والأشخاص... وسأبين كيف أن المتوسل بغيره هو في الحقيقة متوسِّل بعمله
المنسوب إليه، والذي هو من كسبه. فأقول: اعلم أن من توسل بشخص ما فهو لأنه يحبه إذ
يعتقد صلاحه وولايته وفضله تحسينا للظن به، أو لأنه يعتقد أن هذا الشخص محبّ لله سبحانه
وتعالى يجاهد في سبيل الله، أو لأنه يعتقد أن الله تعالى يحبه كما قال تعالى يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ، أو لاعتقاد هذه الأمور كلها في الشخص المتوسَّل به... وبهذا ظهر أن
الخلاف في الحقيقة شكلي ولا يقتضي هذا التفرق والعداء بالحكم بالكفر على المتوسلين
وإخراجهم عن دائرة الإسلام، سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
Artinya, “Titik perbedaan pendapat ulama dalam masalah tawasul adalah tawasul dengan bentuk lain selain amal yaitu tawasul dengan benda atau orang tertentu… Saya akan menjelaskan bagaimana orang yang bertawasul dengan selain amal itu hakikatnya adalah bertawasul dengan amalnya juga yang dinisbahkan kepadanya di mana itu merupakan bagian dari upayanya. Saya mengatakan begini, pahamilah bahwa seorang Muslim yang bertawasul dengan orang tertentu itu karena Muslim tersebut mencintainya karena ia dengan baik sangka meyakini kesalehan, kewalian, dan keutamaan orang itu, atau karena ia meyakini bahwa orang tersebut mencintai Allah dan berjuang di jalan-Nya, atau karena ia meyakini bahwa Allah mencintai orang tersebut sebagai firman-Nya, ‘Allah mencintai mereka. Mereka pun mencintai-Nya,’ atau karena meyakini semua varian itu hadir di dalam orang yang dijadikan tawasul tersebut… Dari uraian ini jelas bahwa perbedaan itu hakikatnya bersifat formal. Jangan sampai perbedaan formalitas ini membawa perpecahan dan pertikaian dengan memvonis kekufuran bagi umat Islam yang mengamalkan tawasul atau bahkan mengusir mereka dari lingkungan Islam sebagai firman-Nya, ‘Mahasuci Engkau, ini merupakan bohong besar,’” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 124-125).
Posting Komentar untuk "Pengertian Tawassul dan Macam-Macamnya"