Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Al Mawaidz Imam Ghazali I Nasehat 33

Jam'ur Rasail Imam Ghazali


Nasehat Imam Ghazali – Berikut hadist qudsi ke-33 yang dihimpun oleh Imam Al Ghazali dalam kitab Jam'ur Rasail.

اَلْمَوْعِظَةُ الثَّالِثَةُ وَالثَّلَاثُوْنَ

يقول الله تعالي:"مَنْ طَلَبَ السُّمْعَةَ بِعَمَلِهِ كَان كَمَنْ ينقل الْمَاءَ عَلَى ظَهْرِهِ إِلَى الْجَبَلِ، يَنَالُهُ التَّعَبُ وَالنَّصَبُ وَلَا يقْبَلُ مِنْ عَمَلِهِ شَيْءٌ، وَكُلَّمَا اتحد بِالْمَاءِ لَا يَلِيْن. يابن ادم! اِعْلَمْ أَنِّيْ لَمْ أُقْبِلْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا مَا كَانَ خَالِصًا لِوَجْهِي، فَطُوْبَى لِلْمُخْلِصِيْنَ. يابن ادم! إِذَا رَأَيْتَ الْفَقْرَ مُقَبِّلًا فَقُلْ: مَرْحَبًا بِشَعَائِرِ الصَّالِحِيْنَ، وَإِذَا رَأَيْتَ الْغِنَى مُقَبِّلًا فقل: ذُنُوْبٌ عُجِلَتْ عُقُوْبَةً، وَإِذَا رَاَيْتَ الضَّيْفَ مَحْبُوْسًا هُنَاكَ فَقُلْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. يابن ادم! اَلْمَالُ لِيْ، وَأَنْتَ عَبْدِيْ، وَالضَّيْفُ رَسُوْلِيْ، أَمَّا تَخْشَى أَنْ أسلبك نِعْمَتِيْ؟ الرِّزْقُ رِزْقِيْ، وَالشُّكْرُ لَكَ، وَنَفْعُهُ عَائِدٌ رَحِمَكَ، وأمر تَرع حق جَارِكَ كَمَا تَرْعَى حَقَّ عِيَالِكَ، لَمْ أَنْظُرُ إِلَيْكَ، وَلَمْ أَقْبَلُ عَمَلَكَ، وَلَمْ أَسْتَجِبْ لِدُعَائِكَ. يابن ادم! لَا تتكل عَلَى مَخْلُوْقِ مِثْلِكَ فَأتكلك إِلَيْهِ، وَلَاتَتَكَبَّرْ عَلَى خَلْقِيْ فَإِنَّ أَوْلَكَ مِنْ نُطْفَةٍ، وَإِنِّي أَخْرَجَتْهَا مِنْ مَخْرَجِ الْبَوْلِ، {مِنْ بَيْنَ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِب} [الطارق:٦،۷]، وَلَا تَنْظُرُ اِلَى مَا حُرِّمَتْ عَلَيْكَ، فَإِنَّ الدُّوْدَ أَوَّلُ مَا يَأْكُلُ مِنْكَ عَيْنَيْكَ؛ وَاعْلَمْ أَنَّكَ مَحَاسِبٌ عَلَى النَّظْرَةِ وَالْمَحَبَّةِ، وَاذْكُرْ مَقَامَكَ غَدًا بَيْنَ يَدَيَّ، فَإِنِّي لَا أَغْفَلُ عَنْ سَرِيْرَتِكَ طَرْفَةَ عَيْنٍ، إِنِّي عَلِيْمٌ بِذَاتِ الصُّدُوْرِ".

 

Artinya : Allah berfirman: siapa yang mencari ketenaran dengan amalnya, ia bagaikan orang yang ingin memindahkan air dengan dipanggul ke gunung, dia hanya mendapat lelah dan lesu dan amal nya tidak bakal diterima, setiap kali ia menyatukan air ia gagal. Wahai anak Adam! Ketahuilah sesungguhnya Aku tidak menerima amal kecuali murni karna Aku, maka beruntunglah bagi orang-orang yang ikhlas. Wahai anak Adam! Bila engkau melihat kefakiran didepanmu, ucapkanlah: kelapangan merupakan tandanya orang shaleh, dan bila kau melihat kekayaan didepanmu, katakanlah: dosa-dosa menuntut siksa, bila kau melihat tamu ditolak disana, katakanlah: saya berlindung dari syaitan yang terkutuk. Wahai anak Adam! Harta itu untukku, engkau adalah hambaku, tamu ialah utusanku, tidakkah kau takuti Aku merampas nikmatku yang diberikan padamu? Rizki ialah rizkiku, syukur itu wajib atas mu dan manfaatnya kembali padamu, tidakkah kau memujiku atas nikmat yang telah Aku berikan padamu? Wahai anak Adam! Tiga kewajiban atasmu: zakat hartamu, sambungan tali persaudaraanmu, urusan keluarga dan tamumu. Bila kau tidak melakukan apa yang telah Aku wajibkan atasku, nisacaya Aku jadikan engkau hinaan bagi semesta alam. Wahai anak Adam! Jika kau tidak menjaga hak tetanggamu sebagaimana kau menjaga hak keluargamu, Aku tidak akan melihatmu, tidak akan menerima amalmu, dan tidak mengabulkan do’amu. Wahai anak Adam! Jangan kau percaya pada makhluk sepertimu, jangan kau sombong atas ciptaanku sesungguhnya awalmu adalah sperma, dan Aku keluarkan kamu dari tempat keluarnya kencing. (yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.) Jangan kau melihat atas apa yang telah Aku haramkan kepadamu, karna sesungguhnya pertama yang ulat makan ialah kedua matamu, dan ketahuilah sesungguhnya amal penglihatan dan kecintaanmu dihitung, ingatlah tempatmu besok dihadapanku, sesungguhnya Aku tidak bakal lupa dari kenikmatan pandangan matamu, sesungguhnya kau tahu dengan

 

Cerita hikmah: Raksasa Sufi

Seorang Guru Sufi sedang berkelana seorang diri melewati daerah pegunungan yang tandus, tiba-tiba ada raksasa perampok menghadangnya, “Akan kuhabisi kau,” ancam makhluk itu.

“Begitukah? Coba kalau bisa,” jawab Sang Guru, “Aku lebih kuat dari dugaanmu, dan akan mengalahkanmu.”

“Banyak cakap,” kata raksasa itu. “Kau seorang Guru Sufi, hanya mengerti hal-hal spiritual. Mana mungkin kau bisa menghentikanku, sebab tenagaku dahsyat dan aku tiga puluh kali lebih besar darimu,”

“Kalau kau sungguh ingin adu kuat,” tantang Sufi itu, “Mari kita lihat siapa yang sanggup memeras air dari batu.”

Diambilnya batu kecil dan diberikannya kepada raksasa itu. Betapa kerasnya mencoba, raksasa itu gagal. “Hal itu mustahil, tak ada air dalam batu ini. Tunjukkan padaku jika ada.”

Dalam keadaan remang-remang, guru itu menggenggam batu itu, mengambil sebutir telur dari sakunya, lalu membenturkan keduanya; ia bersikap seolah-olah sedang memeras batu. Raksasa itu ternganga: sebab orang sering kali takjub pada hal-hal yang tak mereka pahami, dan benar-benar menilainya tinggi, lebih tinggi dari semestinya.

“Aku harus memikirkan kembali peristiwa ini,” kata raksasa itu, “Singgahlah sebentar saja di guaku, malam ini kujamu kau!”

Sang Sufi mengikutinya ke sebuah gua yang luas sekali, penuh dengan barang-barang berharga milik ribuan musafir yang terbunuh oleh raksasa itu, laksana keadaan dalam gua Aladin.

“Berbaring dan tidurlah di sampingku,” kata raksasa itu, “Besok pagi baru kita berbincang-bincang.” Makhluk itu juga berbaring dari sekejap tertidur pulas.

Guru itu—menyadari adanya muslihat—bergegas bangkit dan bersembunyi di tempat yang aman dari raksasa itu. Sebelumnya, ia mengatur tempat tidurnya agar tampak seakan ia masih rebah.

Tidak lama kemudian, raksasa itu bangun. Dengan sebelah tangan, dipungutnya batang pohon yang ada di dekat tempat itu, lalu tiba-tiba dihantamkannya batang pohon itu sebanyak tujuh kali dengan keras pada sosok di tempat tidur sang Sufi. Kemudian, ia tidur lagi.

Guru itu kembali ke tempatnya, berbaring, dan berseru pada raksasa itu, “Hoi raksasa! Memang gua ini nyaman, tetapi seekor nyamuk telah menggigitku tujuh kali. Lakukanlah sesuatu untuk menangkap nyamuk itu.”

Keluhan ringan tersebut menggentarkan si raksasa dan muncul keraguan untuk menyerang Sufi itu lagi. Bagaimanapun, bila seorang dipukul tujuh kali sekuat tenaga dengan batang pohon oleh raksasa, orang itu seharusnya sudah mati.

Pagi harinya, raksasa itu melemparkan sebuah kantong air dari kulit lembu pada Sang Sufi lalu berkata, “Pergilah mengambil air untuk sarapan, supaya kita bisa minum teh.”

Alih-alih menggunakan kantong air itu (yang tentu sangat berat untuk diangkat), guru itu berjalan ke sungai yang terdekat dan mulai menggali saluran kecil menuju gua.

Raksasa sudah kehausan, dan bertanya “Mengapa kau tidak bawa airnya?”

“Bersabarlah, temanku. Aku sedang membuatkanmu saluran air. Dengan begitu, air segar akan langsung menuju mulut gua, dan kau tidak usah lagi minum air dari kulit lembu.”

Tetapi raksasa itu pun sudah terlampau haus untuk menunggu. Ia pergi ke sungai dan mengisi sendiri kantong airnya. Ketika teh selesai dibuat, ia minum beberapa galon, dan kemampuan berpikirnya jadi lebih baik. “Jikalau kau memang demikian perkasa—dan sudah kusaksikan itu—tak sanggupkah kau menggali saluran itu secepat mungkin, bukannya jengkal demi jengkal?”

“Sebab,” kilah guru itu, “Sesuatu yang berharga barulah sungguh-sungguh berharga bila dilakukan dengan upaya sekecil mungkin. Semua hal punya ukuran upaya masing-masing. Dan aku melakukan upaya seminim mungkin untuk menggali saluran ini. Lagipula, aku tahu bahwa kau adalah mahluk yang terpenjara dalam kebiasaan sehingga kau akan selalu menggunakan kantor air dari kulit lembu.”

  

Posting Komentar untuk "Al Mawaidz Imam Ghazali I Nasehat 33"