Nabi Ismail Atau Nabi Ishak Yang Dikurbankan Menurut Ulama Tafsir Imam Tabari dan Imam Al Khazin
Setiap tahun umat Islam
selalu merayakan hari raya Idul Adha untuk mengenang peristiwa pengorbanan Nabi
Ibrahim ketika diuji oleh Allah untuk menyembelih anak kesayangannya. Namun
terkait identitas siapa sebenarnya anak Ibrahim yang dikorbankan, di kalangan
ulama tafsir masih banyak silang pendapat. Apakah yang dikurbankan Nabi Ismail atau Nabi Ishak?
Dalam QS asy-Syu’ārā’ ayat
83 - 89,
رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي
بِالصَّالِحِينَ (83) وَاجْعَلْ لِي لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِينَ (84)
وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (85) وَاغْفِرْ لِأَبِي إِنَّهُ
كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (86) وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ (87) يَوْمَ لَا
يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
(89(
Artinya : (Ibrahim
berdoa), "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke
dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik
bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk
orang-orang yang memusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku,
karena sesungguhnya ia termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah
Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan
anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih.
Dalam ayat di atas, Nabi
Ibrahim meminta kesalihan untuk dirinya, Juga dalam doa yang lain dalam QS
ash-Shaffāt ayat 100 - 113, Nabi Ibrahim memohon agar dikaruniai anak keturunan
yang salih.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100)
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ
يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا
تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ
الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103)
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا
كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ
(106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي
الْآَخِرِينَ (108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (109) كَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِينَ (110) إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (111)
وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (112) وَبَارَكْنَا
عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ
مُبِينٌ (113(
Artinya : “Ya Tuhanku,
anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.
Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (yaitu
Ismail). Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).
Dan Kami panggillah dia: Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi
itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami
tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim
itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)
Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang
beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi
yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan
atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula)
yang Zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.”
Dengan demikian, Nabi
Ibrahim mengharap bukan dirinya semata yang dikenal sebagai pribadi yang salih
dan masuk dalam jajaran para salihin yang menyandang derajat tinggi sebagai
nabi dan rasul, tetapi juga menginginkan anak keturunannya kelak juga supaya
menjadi rasul seperti dirinya. Untuk itulah dia memanjatkan doanya kepada Allah
memohon dikaruniai keturunan yang salih,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya : Ya Tuhanku,
anugrahkanlah kepadaku (anak-anak) yang termasuk golongan orang-orang yang salih.
Saat ditinjau dari alur
kisah dalam konteks pemaparan tafsir al-Qur’an, doa ini diletakkan setelah Nabi
Ibrahim berselisih dengan ayahnya dan kaumnya yang nyata-nyata menolak beriman
dan mengabaikan ajakan Nabi Ibrahim. Bahkan mereka kemudian berupaya untuk
membakarnya, namun Allah kemudian menyelamatkan Nabi Ibrahim. Beliau Nabi
Ibrahim lalu berkata, “Sungguh aku akan pergi kepada Tuhanku. Dia akan memberi
petunjuk kepadaku.” Imam Ṭabarī menafsirkan momentum ini sebagai hijrah Ibrahim
dari negeri tempat kaumnya tinggal menuju Tuhan. Selanjutnya Imam Ṭabarī
menyebut negeri yang menjadi tujuan hijrahnya dengan istilah “tanah suci” (arḍ
muqaddasah). Maksud hijrah disini ialah bahwa ia menjauh dari kaumnya dan
mengasingkan diri (‘uzlah) untuk beribadah kepada Allah.
Imam Ṭabarī mengaitkan
peristiwa hijrah dalam ayat ini dengan kejadian yang sama dalam surat
al-Ankabut bahwa ketika Ibrahim selamat dari upaya tipu daya kaum yang membakar
dirinya, salah seorang kerabatnya yang bernama Lut mengakui kenabiannya. Allah
berfirman dalam QS al-Ankabūt ayat 26,
فَآمَنَ لَهُ لُوطٌ ۘ وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ
إِلَىٰ رَبِّي ۖ إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya : Maka Luth
membenarkan (kenabian)nya. Dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya aku akan
berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); sesungguhnya
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Imam Ṭabarī menganggap dua
ayat ini sebagai satu momentum yang sama, yaitu saat ketika Ibrahim hendak
melakukan hijrah menuju Syam. Pendapat inipun sebagaimana pendapat Imam Al
Khāzin dalam Lubab at-Ta’wīl memberikan tafsiran lebih lanjut bahwa ketika
Ibrahim tiba di tanah suci itulah, Ibrahim kemudian memanjatkan doa kepada
Allah SWT agar dikaruniai seorang anak yang salih.
Ada beberapa persoalan
terkait hasil penafsiran ulama tentang anak salih yang diminta oleh Ibrahim
dalam doanya tersebut. Secara khusus dalam doanya Ibrahim memang meminta kepada
Allah agar dikaruniai anak yang salih. Imam Ṭabarī memaknai doa ini dengan
penjelasan sebagai berikut: “Nabi Ibrahim berkata, Ya Tuhanku karuniailah aku
dari-Mu seorang anak yang akan menjadi bagian dari orang-orang salih yang
menaati-Mu, tidak menyalahi-Mu, berbuat kebaikan di atas bumi dan tidak berkuat
kerusakan.” Definisi di atas nampak memberi kesan bahwa Nabi Ibrahim begitu
menginginkan anak yang lahir sebagai penerus keluarganya menjadi seorang nabi.
Secara implisit nampaknya Imam Ṭabarī mengakui bahwa Nabi Ibrahim memang
meminta dianugerahi anggota keluarga yang meneruskan nubuwahnya. Karena
kelompok orang-orang salih yang menaati Allah, tidak maksiat kepada-Nya, selalu
berbuat kebaikan dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi umumnya diwakili
dalam gambaran pribadi para nabi. Kesan yang timbul dari keinginan Nabi Ibrahim
sebagaimana tertuang dalam doanya ini dapat dianalisis lebih mendalam dengan
memperhatikan ungkapan-ungkapan Ibrahim dalam beberapa dialognya dengan Allah.
Sebut saja, ketika Nabi Ibrahim dianggap lulus dalam menghadapi ujian yang
diberikan Allah, seperti dikisahkan dalam QS al-Baqarah ayat 124, dan Allah
berjanji akan menjadikannya imam bagi seluruh manusia, Nabi Ibrahim kemudian
berkata: “(Dan aku mohon juga) dari keturunanku.” Namun Allah hanya menjawab,
“Janji-Ku tidak mengenai orang-orang yang berbuat aniaya.”
Anak salih yang diminta Nabi
Ibrahim tidak memiliki identifikasi jelas dalam cerita ini, ketika kelanjutan
ayat hanya menyebut, “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang
sangat sabar (ghulām ḥalīm) (QS aṣ-Ṣaffāt 37:101). Kronik yang dituturkan
al-Qur’an seputar kelanjutan kisah Nabi Ibrahim dalam surat as-Saffāt tidak
memberikan identifikasi yang jelas siapakah anak salih yang dimaksud. Berbeda
dengan kelanjutan kisah Ibarahim Ibrahim mengenai hijrahnya ke tanah Syam yang
disebut dalam surat al-Ankabūt ayat 26, ayat-ayat selanjutnya menyebut dengan
jelas bahwa kemudian Allah menganugerahkan Nabi Isḥāq dan Nabi Ya’qūb sebagai
anak dan cucu keturunan Nabi Ibrahim yang dikaruniai status kenabian. Kepada
mereka juga Allah memberikan kitab. Di sini, ketiadaan penyebutan nama dalam
kisah ini menjadi titik pangkal penyebab perbedaan tafsir di antara ulama.
Beberapa karakter penentu yang menjadi ciri utama anak ini memang disebutkan
secara jelas, seperti bahwa dalam usianya yang cukup besar ia adalah seorang
yang memiliki sifat penyabar dan sangat pasrah dalam menaati perintah Allah
yang memerintahkan ayahnya melalui mimpi untuk menyembelihnya sebagai objek
kurban.
Ketika diketahui bahwa Nabi
Ibrahim hanya memiliki dua orang anak, maka jawabannya pasti salah satu dari
dua nama: Nabi Isḥāq atau Nabi Ismāʻīl.
Imam Al Khāzin
menginventarisasi perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini. Menurutnya,
ulama-ulama ahlu kitab sepakat bahwa anak salih itu adalah Nabi Isḥāq. Pendapat
yang sama juga dipegangi oleh beberapa orang sahabat nabi seperti Umar RA, Ali
bin Abi Talib, Ibn Mas’ūd, dan Abbās b Abdul Muṭallib; para tabi’in dan
pengikut-pengikut mereka yang dikenal sebagai ahli tafsir seperti Kaʻb
al-Akhbār, Saʻīd b. Jubair, Qatādah, Masrūq, ‘Ikrimah, ‘Aṭā’, Muqātil,
az-Zuhrī, dan as-Sudā. Imam Al Khāzin pun menggarisbawahi bahwa ada dua riwayat
yang dibawakan oleh Ibn Abbās yang menyebut bahwa anak tersebut bukan saja Nabi
Isḥāq, tetapi juga Nabi Ismāʻīl. Uniknya, kedua riwayat ini diakui sebagai
sama-sama bersumber dari Nabi SAW. Sementara, pendapat yang mengatakan bahwa
anak itu adalah Nabi Isma’il dipegangi oleh lebih sedikit orang dari kalangan
sahabat. Di antara mereka adalah Abdullah b. Salām, al-Ḥasan, dan generasi
sesudahnya seperti Saʻīd b. al-Musayyab, ash-Shaʻbī, Mujāhid, ar-Rabīʻ b. Anas,
Muhammad b. Kaʻb al-Quraẓī, dan al-Kalbī; bahkan termasuk di dalamnya juga
salah satu riwayat ‘Aṭā’ b. Abī Rabāḥ dan Yusuf b. Māhik dari Ibn ‘Abbās.
Perbedaan hasil penafsiran
dalam menetapkan siapa anak salih yang dimaksud dalam doa Ibrahim dalam QS aṣ-Ṣaffāt
ayat 100 memang menjadi polemik yang tidak saja berakar dari analisis struktur
bahasa, ataupun temuan-temuan fakta sejarah yang memang sangat variatif
sehingga menyusahkan proses verifikasi tentang pendapat mana yang lebih kuat di
antara keduanya. Proses tafsir juga telah merambah wilayah lain yang agaknya
sudah mengarah pada sentimen ras dan aspek politik. Menurut Imam Al Khāzin,
mereka yang berpendapat bahwa anak yang dimaksud adalah Nabi Isḥāq mendasarkan
pandangannya pada argumen bahwa tidak ada kabar gembira mengenai kedatangan
anak yang diungkapkan oleh al-Qur’an, kecuali mengenai Nabi Isḥāq, seperti
terlihat dalam beberapa contoh dalam QS Hud ayat 71, QS aṣ-Ṣaffāt ayat 112.
Sementara melalui temuan fakta historis, persoalan ini juga dapat dicerna
secara jelas dalam surat yang ditulis oleh Nabi Ya’qūb kepada Nabi Yūsuf. Dalam
suratnya kepada Nabi Yusuf ketika anaknya tersebut ditemukan oleh
saudara-saudaranya masih hidup dan tengah memegang jabatan penting di negeri
Mesir ---setelah sebelumnya dianggap hilang karena dibuang dalam sebuah sumur
tua oleh saudara-saudaranya ketika Yauus masih kecil--- Nabi Ya’qūb menulis,
“dari Ya’qūb Israil Allah anak Isḥāq Sembelihan Allah (dhabīhullāh) anak
Ibrahim kekasih Allah (khalīlullāh). Semua analisis bahasa dan fakta kesejarahan
ini menguatkan anggapan bahwa tafsir tentang siapa anak yang diminta Ibrahim
dalam doanya adalah Nabi Isḥāq, yang menjadi nenek moyang suku-suku
Israil/Yahudi.
Sementara itu, para ulama
yang berpendapat bahwa anak yang diminta Ibrahim adalah Nabi Ismāʻīl, menurut
Imam Al Khāzin, mendasarkan argumen mereka bahwa kabar gembira akan kedatangan
Nabi Isḥāq muncul setelah selesainya peristiwa penyembelihan, sebagaimana
al-Qur’an memuatnya di bagian akhir pada QS aṣ-Ṣaffāṭ ayat 112. Hal tersebut
berarti yang disembelih bukanlah Nabi Isḥāq. Alasan kedua, Nabi Ismāʻīl sangat
terkenal dengan kesabarannya sebagaimana namanya disebut bersama Nabi Idris dan
Dzulkifli alaihimassalam dalam QS al-Anbiyā’ ayat 85. Kenyatan ini cocok dengan
sikap sabar Ismāʻīl yang ditunjukkan dalam menanggapi perintah penyembelihan
dirinya, sebagaimana disebut dalam QS aṣ-Ṣaffāt ayat 102. Selain itu, Nabi
Ismāʻīl juga disebut di dalam QS Maryam ayat 54 sebagai “pembenar janji” (ṣādiqal
waʻd), yang sesuai dengan sikap pasrahnya ketika dikurbankan.
Lepas dari dua perbedaaan
pendapat dalam tafsir yang sulit disatukan, dalam penjelasannya Imam Al Khāzin
menyertakan sebuah anekdot, ketika khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz bertanya
kepada salah seorang ulama Yahudi yang masuk Islam saat itu tentang siapakah
dari kedua anak Nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan
sebagai kurban. Si Yahudi itu menjawab, “Ismāʻīl, wahai Amirul mu’minin! Itu
Ismail kalian, wahai bangsa Arab, karena bapak kalianlah [sebenarnya] yang
diperintahkan oleh Allah untuk disembelih, sementara mereka (kaum Yahudi) hanya
mengaku-ngaku bahwa itu adalah Isḥāq, bapak mereka. Anekdot ini membuktikan
adanya sentimen SARA yang sedikit menyerempet pengaruh politik keagamaan dalam
tafsir tentang siapa sebenarnya anak salih yang diminta Ibrahim yang
kesalihannya sangat kentara dengan keikhlasannya menjalani perintah berkurban.
Sementara itu, dari sisi
antropologis, situs lokasi penyembelihan (manḥar) berada di Makkah. Jikapun
kemudian ditemukan benda-benda budaya yang terkait langsung dengan peristiwa
yang terjadinya telah berlalu ribuan tahun lalu itu, maka bukti-bukti itupun
tetap belum bisa memuaskan, kalau tidak bisa dibilang cukup mengecewakan karena
telah rusak ataupun hilang akibat bencana. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa
terdapat bukti keberadaan sisa-sisa peninggalan dari bagian anggota badan hewan
kibas yang disembelih oleh Ibrahim kala itu, ketika pada awal Islam kedua
tanduknya terpasang di dinding Ka’bah. Namun, lagi-lagi temuan ini hanya
menjadi catatan sejarah saja, ketika Ka’bah kemudian terbakar pada masa
pemerintahan Ibn Zubair.
Sampai di sini, kita
memandang tafsir sebagai bentuk ijtihad, maka masing-masing argumentasi dari
dua kelompok yang berbeda pandangan ini agaknya tidak bisa dibuat saling menjatuhkan.
Keduanya sama-sama kokoh. Namun, jika kita diharuskan memilih kecenderungan ke
arah kelompok mana yang harus dipegangi pandangannya, maka kerangka kerja
hermeneutika mungkin bisa berguna di sini. Kita bisa katakan bahwa Imam Ṭabarī
yang lebih mementingkan sumber-sumber riwayat tentu saja akan dengan mudah
cenderung kepada pandangan pertama, karena kebanyakan riwayat tafsir menyebut
anak salih yang diinginkan Nabi Ibrahim lalu diperintahkan Allah untuk
disembelih adalah Nabi Isḥāq. Di sini, secara sosiologis Imam Ṭabarī juga
memiliki kedekatan dengan sumber-sumber biblikal yang kesemuanya sepakat
mengaggap anak itu sebagai Nabi Isḥāq.
Imam Al Khāzin sedikit berbeda dengan Imam Ṭabarī, karena karakter tafsirnya merupakan campuran antara gaya penafsiran riwayat ---yang juga banyak memakai sumber-sumber Israiliyat--- dan analisis sastra, terutama analisis gaya penuturan bahasa al-Qur’an, bukan melulu grammatika bahasa Arabnya. Dari kronologi pemaparan penjelasan tafsirnya, Imam Al Khāzin seolah cenderung kepada pandangan yang kedua. Hal ini kentara dari nukilan riwayat tentang pertanyaan al-Asma’ī terhadap Abu ‘Amr b. Al-‘Alā, yang mana ia menjawab bahwa anak tersebut adalah Nabi Ismaʻīl.
Posting Komentar untuk "Nabi Ismail Atau Nabi Ishak Yang Dikurbankan Menurut Ulama Tafsir Imam Tabari dan Imam Al Khazin"