Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menendang Sesajen Bukan Prilaku Islami, Oleh Abi Quraish Shihab



Kajian ini merupakan penyampaian dari Abi Quraish Shihab dengan putrinya Najwa Shihab dalam menanggapi peristiwa di kaki Gunung Semeru. Berikut kami sertakan video beserta teksnya.

Sesajen Menurut Al Qur'an

(Soal sesajen, Bi. Bagaimana Islam, Al Qur'an, apakah pernah berbicara soal itu?)

Prinsipnya begini, segala kegiatan hendaknya diarahkan kepada Tuhan. Bermohon, kita hendak bermohon kepada Tuhan. Kalau anda bermohon kepada manusia, sebelum bermohon kepada manusia, bermohonlah dulu kepada Tuhan, agar Tuhan memberikan kepada manusia ini kemampuan untuk memenuhi permintaan anda.

Apa yang dipersembahkan kepada sesuatu, itu bisa bermacam-macam motifnya. Bisa jadi saya mempersembahkan sesuatu, katakanlah ke laut, supaya ikan bisa makan. Saya berikan ke hutan, supaya kera bisa makan. Itu sesuatu yang baik-baik saja. Saya tidak kaitkan dengan bahwa kera bisa memenuhi keinginan saya.

Ada lagi, kita menyerahkan sesuatu yang kita namai sesaji atau sesajen itu dengan keyakinan bahwa, "Inilah yang membantu saya mencapai ini (keinginan saya)". Potong kepala kerbau, supaya tidak diganggu jin dalam pembangunan, itu tidak (tidak boleh). Tetapi kalau anda menyembelih kerbau, menyembelih sapi, untuk anda sedekahkan dan makan bersama, tidak ada masalah.

Tetapi kita anggaplah bahwa sesaji yang diberikan di kaki Gunung Semeru itu memang bermaksud untuk memohon bantuan sesuatu kekuatan selain kekuatan Ilahi. Nah, ini yang kita harus berhati-hati. Karena, setiap masyarakat menurut Al Qur'an ada hal-hal yang dianggap baik. Nah, apa yang dianggap baik oleh masyarakat tertentu, jangan ganggu itu. Itu ada ayat di surah Al-An'am dikatakan begini:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Jangan memaki sembahan-sembahan orang-orang yang menyembah selain Allah." Memaki saja tidak boleh, apalagi menendang. Memang begitulah Allah menjadikan manusia mencintai sesuatu, menganggap baik sesuatu. Tidak apa-apa, nanti Tuhan yang akan menentukan di hari kemudian, apa pandangan Tuhan, keputusan Tuhan terhadap mereka. Jadi mestinya, itu jangan ditendang.

(Karena, seperti kita ketahui teman-teman. Suku Tengger, yang memang berada di sekitar kaki Gunung Semeru, salah satu adat istiadat mereka itu menaruh sesajen.)

Nah itulah dia. Artinya, kita hormatilah itu. Menghormati bukan berarti kita setuju. Itu adatnya, itu kebiasaannya, itu kepercayaannya. Kenapa diganggu? Al-Qur'an berkata ini. Banyak sekali ayat itu.

قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ

Kami punya kegiatan (amal), kalian punya kegiatan juga. Silahkan masing-masing. Karena kalau tidak, kita mengundang orang juga memperlakukan apa yang kita percaya, apa yang kita lakukan itu sebagaimana perlakuan kita terhadap dia.

Orang maki kepercayaannya, kan bisa dijawab juga, "Dia maki kepercayaan kita," ngapain begitu?

(Tapi bahwa itu akan memicu murka Allah, apakah itu betul, Bi?)

Dari mana kita tahu?

(Karena kan, si orang ini dengan gagahnya bilang (sebelum) ditendang, "Inilah yang akan memicu adzab dan murka Allah")

Kalau dalam konteks itu, kita katakan Allah kan mengizinkan. Tidak akan terjadi sesuatu tanpa izin Allah. Allah memberikan kebebasan manusia untuk percaya atau tidak percaya, untuk beribadah atau tidak beribadah. Kalau kita baca ayatnya tadi, keputusannya nanti di hari kemudian. Siksaannya nanti di hari kemudian.

Macam Adat Istiadat Menurut Islam

(Jadi pada prinsipnya, apakah semua adat dan istiadat, apakah semua kebiasaan, itu diperbolehkan oleh Islam Abiku?)

Tidak. Adat istiadat, kebiasaan itu ada tiga dalam pandangan Islam. Ada satu, yang sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Itulah yang dinamai ma'ruf. Kita diperintahkan menegakkan ma'ruf. Apa yang kamu anggap baik di dalam masyarakatmu, dan itu sejalan dengan tuntunan agama atau tidak bertentangan, tegakkan itu. Pakai peci hitam itu menurut Abi adat kebiasaan bangsa kita. Itu lebih baik daripada pakai topi. Itu adat kebiasaan, sejalan.

Ada lagi yang jelas bertentangan. Islam yang bertentangan itu tidak direstui-Nya. Tetapi itu tadi. Kalau bertentangan itu kepercayaan orang. Lakum diinukum wa liya diin (Surah Al-Kafirun: ayat 6).

Ada lagi yang abu-abu. Yang abu-abu ini, Islam berusaha untuk meluruskannya, memperbaikinya. Dulu, Wali Songo melakukan itu. Sekian banyak adat dan istiadat, dia "Islamkan" sehingga berjalan sesuai itu. Jadi itu adat. Seperti acara siraman. Itu bisa diislamkan. Kita mandi, sambil berkata memang Islam menganjurkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang baik, apalagi di depan orang banyak dengan bersih-bersih. Sebelum Jum'at, mandi. Iya, kan? Jadi jangan terlalu kaku.

Di setiap daerah ada adatnya, ada kebiasaannya. Dan kembali lagi, Setiap amal itu sesuai dengan niatnya. Dan kalau kita mau himpun semua adat, tidak mungkin kita dapat menjangkau itu. Maka rumus-rumuslah, "Ini bertentangan dengan agama atau tidak? Oh tidak bertentangan". Gunting rambut, boleh tidak gunting rambut? Boleh. Orang-orang yang haji pun habis selesai gunting rambut ada lambang-lambangnya. Jadi itu adat kebiasaan.

(Bi, ada juga kemudian yang mempertanyakan dan berusaha menyamakan aksi di Lumajang itu seperti apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim waktu itu, menghancurkan patung-patung.)

Ini salah paham. Setiap agama, setiap Nabi membawa dua macam ajaran. Ada prinsip-prinsip dasar. Prinsip-prinsip dasar dari semua Nabi ini sama. (yaitu) Ketuhanan, percaya ada wahyu, percaya ada hari kemudian (hari akhir), percaya ada kitab suci.

Kemudian ada lagi hukum-hukum syariat. Itu beda-beda. Nah, Nabi Ibrahim bawa keesaan Tuhan. Nabi-nabi sebelumnya semua dipercaya (menyampaikan Keesaan Tuhan). Tetapi ada syariatnya yang tidak sesuai dengan kita. Dia menghancurkan berhala-berhala itu, tidak harus diteladani. Itu ajaran yang sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim. Nabi Muhammad tidak menghancurkan berhala-berhala. Buktinya apa? Sahabat-sahabat beliau yang paham agama, ketika ke Mesir, ketika ke Iraq, ketika ke Syiria, itu menemukan berhala-berhala. Mereka tidak hancurkan.

Alasan Nabi Muhammad Menghancurkan Patung di Makkah

(Tapi kan Nabi Muhammad juga sempat menghancurkan berhala ketika masuk di Makkah Bi, Itu bagaimana?)

Bagus, Bagus. Makkah itu punya status khusus. Makkah itu adalah tanah suci yang oleh Allah dan Rasul-Nya dinyatakan tidak boleh dihuni kecuali orang yang beragama Islam. Sekarang kita mau analogikan. Sekarang ini dikenal visa, visa itu kebaikan negara dalam konteks menjaga keamanannya dan menampakkan keindahannya. Iya kan? Sehingga bisa saja satu orang dilarang oleh negara masuk ke negara itu karena bertentangan dengan falsafah dan ininya (ketentuan). Nah, Islam melarang non Muslim masuk ke sana (Makkah). Kalau begitu, masih dibutuhkan adanya berhala-berhala itu disana? Tidak. Tidak dibutuhkan. Silahkan pindahkan saja, hancurkan saja. Jadi, jangan analogikan itu dengan ini, lantas ambil (mencontoh) itu, "Oh ini kita hancurkan saja," karena di sini ada nas, ada ketetapan agama bahwa siapa saja yang mau menganut kepercayaan di luar Makkah, silahkan. Siapa yang mau kalau di dalam Makkah, harus Islam. Dan jangan kritik itu, itu kebijakan. Sebagaimana kita tidak bisa kritik suatu negara yang melarang warga negara lain masuk.

Tidak dikasih visa. Itu Wewenang mereka.

(Jadi, dalam konteks Nabi Muhammad ketika itu menghancurkan berhala ketika masuk ke Makkah karena memang status kota Makkah. Kota Suci. Bukan berarti kemudian konteksnya itu diambil dan dijadikan alasan menendang-nendang sesajen, begitu ya, Bi.)

Betul, jadi negara punya wewenang untuk mengatur. Begitu juga di Makkah, itu kebijakan yang direstui Allah dan Rasul-Nya dalam rangka memelihara kesucian Makkah. Jangan pakai itu di sini. Beda konteks. Jadi, kalau kemudian itu ditendang, dibilang tidak sesuai, itu sama sekali tidak Islami.

Posting Komentar untuk "Menendang Sesajen Bukan Prilaku Islami, Oleh Abi Quraish Shihab"