Perjalanan Hidup Kyai Maimoen Zubair Sarang
Biografi Mbah Maimoen Zubair Sarang
KH. Maimoen Zubair atau yang biasa disapa akrab dengan Mbah Moen adalah putra pertama dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Beliau dilahirkan di Karang Mangu Sarang hari Kamis Legi bulan Sya'ban tahun 1347 H atau 1348 H bertepatan dengan 28 Oktober 1928.
Ayahanda Mbah Moen, Kiai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Kedua guru tersebut adalah sosok ulama yang tersohor di Yaman.
Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan.
Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara seimbang. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras.
Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri.
Silsilah Kyai Maimoen Zubair
Dari jalur silsilah kakek, nasab Mbah Moen sampai kepada Sunan Giri. Berikut adalah jalur silsilah nasab Mbah Moen, KH. Zubair bin Mbah Dahlan bin Mbah Carik Waridjo bin Mbah Munandar bin Puteh Podang (desa Lajo Singgahan Tuban) bin Imam Qomaruddin (dari Blongsong Baureno Bojonegoro) bin Muhammad (Macan Putih Gresik) bin Ali bin Husen (desa Mentaras Dukun Gresik) bin Abdulloh (desa Karang Jarak Gresik) bin pangeran Pakabunan bin panembahan Kulon bin sunan Giri.
Sedangkan dari jalur silsilah Nenek yaitu, Nyai Hasanah binti Kiai Syu’aib bin Mbah Ghozali bin Mbah Maulana (Mbah Lanah seorang bangsawan Madura yang bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro).
Hari Wafat Kyai Maimoen Zubair
KH. Maimoen Zubair wafat di Mekah, Arab Saudi, pada hari Selasa, 6 Agustus 2019 pagi, dalam rangka merayakan ibadah haji. Beliau tutup usia pada dalam umur 90 tahun.
Keluarga Kyai Maimoen Zubair
Mbah Moen dianugerahi 10 putra dari tiga kali pernikahannya. Almarhum menikah tiga kali karena istri pertama dan keduannya meninggal dunia. Istri pertama bernama Ibu Nyai Hj Fahima Baidhowi, yang merupakan putri dari KH Baidhowil Lasem Rembang. Dari pernikahannya, keduannya dikaruniai dua putra dan satu putri, masing-masing:
- KH. Abdullah Ubab
- KH Muhammad Najih (Gus Najih)
- Ibu Nyai Hajah Shobihah (Neng Shobihah) yang menikah dengan KH. Musthofa Aqil Siradj (adik kandung Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj)
Dari istri kedua, yakni Ibu Nyai Hj Mastiah, Mbah Moen dikaruniai 6 putra dan satu putri, masing-masing:
- KH. Majid Kamil (Gus Kamil)
- KH Abdul Goffur (Gus Abd. Ghofur)
- KH Abdul Rouf (Gus Rouf)
- KH Muhammad Wafi ( Gus M. Wafi)
- Ibu Nyai Hj Rodhiah (Neng Yah)
- KH Taj Yasin (Gus Yasin)
- KH Muhammad Idror (Gus Idror)
Setelah istri pertama dan kedua wafat lebih dulu, Mbah Moen kembali menikah dengan istri ketiganya yaitu Ibu Nyai Hj Heni Maryam putri dari salah satu ulama dari Kabupaten Kudus. Dari pernikahan ini tidak dikaruniayai keturunan.
Sanad Ilmu dan Pendidikan Kyai Maimoen Zubair
Dalam riwayat pendidikannya, sejak kecil Mbah Moen sudah dibimbing langsung oleh orang tuanya dengan ilmu agama yang kuat, mulai dari menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain.
Pada usia yang masih muda, beliau sudah hafal beberapa kitab diluar kepala diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Selain itu, beliau juga mampu menghafal kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya. Pada tahun 1945 beliau memulai pendidikannya ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim atau yang biasa dipanggil dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.
Setelah itu selesai, kemudian beliau kembali ke kampungnya, mengamalkan ilmu yang sudah beliau dapat. Kemudian pada tahun 1950, beliau berangkat ke Mekkah bersama kakeknya sendiri, yaitu KH. Ahmad bin Syu’aib untuk belajar dengan ulama di Mekkah.
Diantaranya adalah Sayyid Alawi al-Maliki, Syekh al-lmam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly. Disana ia belajar selama 2 tahun.
Pada tahun 1952, Mbah Moen kembali ke Tanah Air. Setiba di Indonesia Mbah Moen kemudian melanjutkan belajar ke beberapa ulama di tanah Jawa. Guru-guru beliau adalah Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen(Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abui Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.
Guru Kyai Maimoen Zubair
Berikut ini merupakan guru-guru Maimoen Zubair;
- KH. Zubair Dahlan
- KH. Abdul Karim
- KH. Mahrus Ali
- KH. Marzuqi.
- KH. Ahmad bin Syu’aib
- KH. Baidhowi
- KH. Ma’shum Lasem
- KH. Bisri Musthofa (Rembang)
- KH. Wahab Chasbullah
- KH. Muslih Mranggen(Demak)
- KH. Abdullah Abbas Buntet (Cirebon)
- Syekh Abui Fadhol Senori (Tuban)
Kyai Maimoen Zubair Mendirikan Pondok Pesantren Sarang
Setelah dirasa cukup untuk menimba ilmu, akhirnya Mbah Moen kembali ke Sarang dan mengabdi kepada masyarakat di sana. Pada tahun 1965, Mbah Moen mendirikanPesantren al-Anwar. Pesantren inilah kemudian menjadi rujukan para orang tua, untuk memondokan anaknya untuk belajar kitab kuning dan turats. Sehingga akhirnya, masyarakat Sarang mengenal KH. Maimoen Zubair sebagai sosok ulama yang kharismatik.
Keturunan Kyai Maimoen Zubair
- KH. Abdullah Ubab
- KH. Gus Najih
- KH. Majid Kamil
- Gus Abd. Ghofur
- Gus Abd. Rouf
- Gus M. Wafi
- Gus Yasin
- Gus Idror
- Nyai Hj. Shobihah Maimoen yang menikah dengan KH. Musthofa Aqil Siradj (adik kandung Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj)
- Nyai Rodhiyah (Gus Anam)
Murid dan Santri Kyai Maimoen Zubair
- Kiai Abdul Wahid Zuhdi (disebut ilmunya mutabahhir/luas)
- Gus Anam (disebut sebagai rojul kamil karena cepatnya hafalan beliau)
- Gus Baha' (santri alim yang terkenal cepat cari ibarat kitab)
- KH. Abdul Nashir Fatah
- KH. Khoiruzzad
- KH. Ali Mashar
- KH. Naf’an
Jasa Kyai Meimoen Zubair
Untuk kiprah dan perjuangan Mbah Maimoen, tentu tidak diragukan. Baik dalam pengembangan keilmuan, kiprah politik dan kebangsaan. Di Nahdlatul Ulama (NU), Beliau sering menjadi ‘’sesepuh’’ dan ‘’rujukan’’.
Selain itu, beberapa kiprah lain adalah menjadi Mudir ‘Am madrasah Al-Ghazaliyyah dari awal berdirinya hingga saat ini, Nadhir masjid Jami’ Sarang yang berada di sebelah Barat Desa Sarang, Rembang, dan Ketua Badan Pertolongan dan Sosial Sarang (1967 – 1975 M).
Mbah Maimoen juga pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang (1971-1978), anggota MPR RI utusan Jawa Tengah (1987 – 1999), Ketua Syuriah NU Provinsii Jawa Tengah (1985 – 1990), Ketua MPP PPP (1995-1999) dan Ketua Majelis Syuriah PPP (2004 – sekarang).
KH. Maimoen Zubair pernah melebarkan sayap ke dunia internasional dengan menjadi utusan Indonesia dalam Majelis Ijtima Ulama Nusantara kedua di Malaysia pada tahun 2000. Beliau menjadi anggota ICIS (International Conference of Islamic Scholars) dari Indonesia yang diutus ke Uzbekistan pada tahun 2010.
Karya Kyai Meimoen Zubair
- Nushushul Akhyar adalah kitab karangan Mbah Moen yang menjelaskan tentang penetapan awal puasa, Idul Fitri dan pembahasan terkait tempat Sa'i.
- Tarajim Masyayikh Al-Ma’ahid Ad-Diniah bi Sarang Al-Qudama’ merupakan kitab yang ditulis oleh Mbah Moen yang berisi biografi lengkap ulama-ulama Sarang.
- Al-Ulama’ Al-Mujaddidun kitab inilah yang sering di kaji oleh Gus Baha
- Maslakuk Tanasuk kitab ini menjelaskan tentang sanad thoriqot Mbah Moen kepada Sayyid Muhammad Al Maliki dan berisi pembahasan lainnya.
- Kifayatul Ashhab.
- Taqirat Badi Amali.
- Taqrirat Mandzumah Jauharut Tauhid.
Kisah-Kisah Teladan Kyai Meimoen Zubair
Kisah saat Mbah Maimoen Zubair bertemu Habib Mundzir
Pada suatu hari, almarhum Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa datang ke ndalem KH Maimoen Zubair Sarang Rembang. Kedatangan Habib Mundzir ini dalam rangka mengundang Mbah Maimoen untuk hadir dalam acara Majlis Rasulullah. Majlis Rasulullah rutin mempunyai acara besar setiap tahun dalam rangka Maulid Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Ketika Habib Mundzir menyampaikan undangan, Mbah Maimoen langsung memegang dan mencium undangan tersebut.
“Hadzihi min Rasulillaah, hadzihi min Rasulillaah, Ini dari Rasulullah.. Ini dari Rasulullah,” kata Mbah Maimoen dengan penuh takdzim.
Setelah dirasa cukup dalam pembicaraan, Habib Mundzir minta undur diri. Kemudian Habib Mundzir pamit dengan Mbah Maimoen sembari kembali berharap Mbah Maimoen bisa hadir dalam acara tersebut.
Subhanallah! Akhlaq Habib Mundzir luar biasa. Ketika keluar dari rumah Mbah Maimoen, Habib Mundzir berjalan mundur dengan pelan, tak mau membelakangi Mbah Maimeon, sebagai wujud ekspresi adab terhadap orang alim.
Itulah Habib Mundzir, sosok keturunan Rasulullah SAW yang menjadi teladan bagi umat manusia. Kini Habib Mundzir telah tiada, tapi jejak hidupnya menjadi warisan bagi generasi saat ini untuk menjadi pribadi yang luhur dalam kehidupan sehari-hari.
Mbah Maimoen Zubair dikenal sebagai sosok ulama yang sangat mencintai dan menghormati para habaib. Setiap bertemu habaib, Mbah Maimoen selalu mendahului cium tangan. Semoga Mbah Maimoen Zubair selalu dikaruniai kesehatan dan panjang umur.
KH Maimun Zubair merupakan sosok yang menjadi teladan bagi ummat, tak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Semua perilaku yang sesuai dengan perkataannya menjadi panutan umat. Ulama yang keberadaannya sudah langka.
“Sangat susah dan langka kita temukan Ulama kharismatik seperti Mbah Maimun, ibaratnya Mencari sosok Mbah Mun itu ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami.” Ungkap KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus saat memberikan tausiyah pada acara 40 Hari Memperingati wafatnya KH Maimun Zubair yang diadakan di Ponpes Raudlatut Tholibin, Leteh pada Kamis (12/9/2019).
Mbah Maimoen Zubair Memuliakan Semua Tamu
Gus Mus menambahkan, Mbah Mun sangat memuliakan semua tamu dari semua kalangan, baik dari kalangaan rakyat jelata hingga pejabat. Sehingga pantas saja, bila semua rakyat Indonesia bersedih. “Memperlakukan siapa saja dengan mulia, ini yang harus kita teladani dan kita tiru dari Mbah Maimun. Beliau menerima tamu dari semua kalangan, yang baik dan yang tidak baik, yang santri dan tidak santri semua disambut dengan baik, tanpa membeda-bedakannya” kata Gus Mus.
Perjalanan Karir Kyai Maimoen Zubair
Selain menjadi seorang pengasuh Al-Anwar Sarang, Pada tahun 1971, Mbah Moen terjun ke dunia politik menjadi anggota DPR wilayah Rembang hingga tahun 1978. Kemudian pada tahun 1987, beliau menjadi Anggota MPR RI utusan Jawa tengah hingga tahun 1999.
Kemudian semasa jabatan politiknya di MPR RI, Mba Moen juga pada tahun 1985 hingga 1990 dikenal aktif dalam NU, Mbah Moen pernah menjabat sebagai Ketua Syuriah NU Provinsi Jawa Tengah. Beliau juga pernah menjadi Ketua Jam’iyah Thariqah NU.
Pada tahun 1995 hingga 1999, Mbah Moen juga aktif dalam organisasi partai seperti menjadi Ketua MPP Partai Persatuan Pembangunan, dan kemudian menjadi Ketua Majelis Syari’ah PPP sejak 2004.
Kisah Karomah Kyai Maimoen Zubair
Mobil Mbah Moen Berjalan Tanpa Bahan Bakar
Dahulu, Mbah Moen sering pergi ke Pasuruan dengan menaiki sebuah mobil. Mobil tersebut mudah sekali rusak, maka saat melakukan perjalanan jauh di pertengahan jalan harus selalu berhenti untuk melakukan service mobil. Saat beliau dalam perjalanan pulang dari Pasuruan, sopir beliau berhenti disebuah bengkel untuk memeriksa mesinnya.
Ketika tukang bengkel tersebut memeriksa mobil tersebut, ia kaget dan menanyakan pemilik dari mobil tersebut, dan sopir pun memberi tahu jika itu adalah mobil milik Mbah Moen.
Tukang bengkel pun menjelaskan jika saluran selang bensin mobil tersebut tidak tersambung, namun kenapa bisa berjalan. Tukang bengkel pun terheran-heran dengan keanehan tersebut. Kejadian tersebut tidak terlepas dari karomah yang di dapatkan oleh Mbah Moen.
Kyai Maimoen Bertemu Nabi Khidir AS
Dahulu ketika Mbah Moen menyantri di Pondok Lirboyo Kediri Jawa Timur pernah ditemui oleh Nabi Khidir AS. Sekitar pukul 11.00 WIB Mbah Moen merasakan seperti ada seseorang yang memanggil dan ternyata suara tersebut datang dari makam dekat pondok, dan ternyata di makam tersebut ada Nabi Khidir AS yang berpakaian seperti petani dan memakai caping.
Nabi Khidir AS berkata kepada Mbah Moen, “Kamu cinta kepada saya, saya juga cinta kepada kamu, dijamin Gusti Allah nantinya”, kemudian Nabi Khidir mendoakan Mbah Moen lama sekali, selama berdoa dan diaamiini oleh Mbah Moen, Nabi Khidir kemudian menghilang dan Mbah Moen kembali ke pondok lagi.
Kyai Meimoen Menyembuhkan Penyakit dengan Air Putih
Menurut Kyai Fadlolan, saat mengantarkan Mbah Moen dan istrinya ziarah ke makam Imam Syadzili, mereka mampir ke sebuah mushola untuk melaksanakan sholat jamak takdzim, seusai sholat mereka mampir ke sebuah warung makan di sebelah mushola.
Saat menunggu diantarkannya makanan tiba-tiba datang ibu pemilik warung dengan membawa sebotol air minum serta minta Mbah Moen untuk mendoakan air tersebut serta suaminya yang sedang sakit.
Setelah air tersebut didoakan, Mbah Moen bertanya, dimana suami dari ibu pemilik warung. Kemudia ibu pemilik warung mengantarkan Mbah Moen ke tempat suaminya berada. Setelah sampai, Mbah Moen mendoakan dan mengoleskannya dengan air putih.
Tak setelah itu, suami dari ibu pemilik warung berangsur-angsur pulih. Setelah selesai makan, Kyai Fadlolan, Mbah Moen dan istrinya pun pamit untuk pulang dan ibu si pemilik warung pun menolak untuk dibayar.
Ibu pemilik warung berterimakasih karena didoakan oleh Mbah Moen, namun Mbah Moen tetap membayar semua makanannya. Mbah Moen benar-benar ikhlas menolong orang Mesir yang tidak dikenalinya tersebut.
Mbah Moen Telah Mengetahui Tanggal Wafatnya
Kisah pak Sodikun jamaah haji asal Tegalrejo Magelang Jawa Tengah, ia diminta oleh kakaknya untuk sowan meminta berkah di hotel dimana Mbah Moen menginap, atas saran kakaknya tersebut pak Sodikun berencana sowan ke Mbah Moen setelah sholat jumat. Setelah berhasil menemui Mbah Moen, pak Sodikun pun menanyakan kepada Mbah Moen sampai kapan akan tinggal di Makkah. Mbah Moen pun dengan tegas menjawab “Sampai tanggal 5”.
Pak Sodikun pun merasa janggal dengan jawaban dari Mbah Moen, pasalnya bagaimana mungkin beliau tinggal di Makkah sampai tanggal 5, sedangkan ritual ibadah haji jika dihitung dari kalender hijriyah maupun masehi akan berakhir di sekitar tanggal belasan.
Pak Sodikun pun berhusnudzon jika yang dimaksud tanggal 5 Mbah Maimun adalah tanggal terakhir beliau berada di hotel tempat Mbah Moen menginap.
Menjelang subuh, hujan mengguyur kota Makkah, pak Sodikun yang berangkat ke masjidil haram pun basah kuyup. Pak Sodikun merasa cuaca kali ini sangatlah aneh karena terjadi pada musim panas dan beberapa saat kemudian terdengarlah kabar wafatnya Mbah Moen. Pada tanggal 5 Dzulhijjah 1440 H atau 6 Agustus 2019 Mbah Moen bukan hanya meninggalkan hotel namun juga Makkah bahkan dunia dengan segala hiruk pikuknya.
Posting Komentar untuk "Perjalanan Hidup Kyai Maimoen Zubair Sarang"