Urgensi Memahami Hukum Fikih, Larangan Menikahi Dua Perempuan Mahram Sekaligus
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama, masyhur dikenal sebagai ulama ahli hadis. Julukan Hadratussyaikh yang disematkan kepada Mbah Hasyim memberikan makna bahwa kakek Gus Dur ini merupakan Maha Guru dan telah hafal Kutubus Sittah (Hadits 6 Riwayat). Mbah hasyim dalam salah satu ungkapannya menyebutkan tentang keutamaan mempelajari ilmu fikih, sebab dengan memahami fikih dapat pula memahami Al Qur'an dan Hadis. Sebagaimana ungkapan beliau,
لولا الفقه لم نفهم الحديث لولا الحديث لم نفهم القرآن
"Seandainya tanpa fikih kita tidak akan paham hadis, seandainya tanpa hadis kita tidak akan paham al-Qur'an."
Berikut ini merupakan contoh urgensi memahami fikih sebagai penjelasan dari Al Qur'an dan Hadis. Penjelasan ini merujuk pada materi kajian Kiai Bahauddin Nur Salim, dalam beberapa kesempatan sering mencontohkan hukum larangan mengumpulkan dua perempuan dalam satu pernikahan.
Larangan Menikahi Dua Perempuan Bersaudara
Larangan ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An Nisa ayat 23,
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: "Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. An-Nisa [4]: 23).
Dalam kajiannya, Gus Baha sangat menyayangkan pandangan seseorang yang pede mengumandangkan jargon kembali pada Al Qur'an dan Hadis dengan mengesampingkan madzhab fikih. Beliau sebagai Ulama' fikih selanjutnya bertanya tentang hukum menikahi perempuan dan bibinya, juga menikahi perempuan dan neneknya sekaligus dalam satu pernikahan. Bila hanya didasarkan pada teks ayat di atas, maka hukum larangan mengumpulkan 2 orang perempuan tersebut hanya berlaku diantara 2 saudari saja. Padahal makna yang dikehendaki ialah larangan mengumpulkan 2 perempuan mahram.
Ayat di atas menyebutkan salah satu bentuk larangan menikahi dua perempuan mahrom sekaligus. Ini merupakan bagian dari kaidah إطلاق الجزء وإرادة الكُلّ. Satu contoh larangan mengumpulkan dua mahram ialah mengumpulkan dua saudari dalam satu pernikahan.
Larangan Menikahi Perempuan dan Bibinya
Larangan tentang menikahi Perempuan bersama bibinya dalam satu pernikahan dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW berikut,
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحِ بْنِ الْمُهَاجِرِ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ عِرَاكِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَرْبَعِ نِسْوَةٍ أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَهُنَّ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَالْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh bin Muhajir telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Yazid bin Abi Habib dari 'Irak bin Malik dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang empat perempuan untuk dipoligami, yaitu menikahi wanita dengan bibinya (dari pihak ayah) sekaligus, dan seorang wanita dengan bibinya dari pihak ibu." (Hadits Shahih Muslim No. 2515)
Juga hadis yang serupa berikut,
لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا، وَلَا عَلَى خَالَتِهَا
Artinya: "Tidak dinikahi seorang perempuan atas bibinya (dari garis ayahnya), juga tidak atas bibinya (dari garis ibunya)" (HR. Muslim no. 1408)
Kedua hadis di atas melanjutkan penjabaran larangan menikahi dua perempuan mahram. Diantaranya ialah larangan menikah perempuan dan bibinya dalam satu pernikahan sekaligus. Redaksi ini tidak dijelaskan dalam Al Qur'an, namun dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW.
Larangan Menikahi Perempuan dan Neneknya
Lalu bagaimanakah hukum menikahi perempuan dan neneknya?. Jawabannya ialah menqiyaskan dua contoh hukum di atas (tidak boleh), sebab mengumpulkan perempuan dan neneknya dalam satu pernikahan juga sama artinya menikahi dua perempuan mahram sekaligus yang dilarang. Penjelasan ini tidak disebutkan di dalam Al Qur'an dan Hadis, melainkan dalam penjelasan ulama fikih. Diantaranya ialah penjelasan Syeikh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fath Al-Mu’in mengatakan,
فَإِنْ نَكَحَ مَحْرَمَيْنِ فِي عَقْدٍ بَطَلَ فِيْهِمَا إِذْ لَا مُرَجِّحَ أَوْ فِي عَقْدَيْنِ بَطَلَ الثَّانِي وَضَابِطُ مَنْ يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُمَا كُلُّ امْرَأَتَيْنِ بَيْنَهُمَا نَسَبٌ أَوْ رَضَاعٌ يَحْرُمُ تَنَاكُحُهُمَا إِنْ فُرِضَتْ إِحْدَاهُمَا ذَكَرًا
Artinya: "Jika ia menikahi dua (perempuan) mahram dalam satu akad, maka batal dalam keduanya, karena tidak ada hal yang menguatkan salah satunya, atau menikahi dalam dua akad, maka akad yang kedua batal. Parameter perempuan yang haram dikumpulkan (dalam satu ikatan nikah) adalah setiap dua perempuan yang di antara keduanya terdapat hubungan nasab atau persusuan di mana mereka berdua haram menikah seandainya salah satunya adalah laki-laki".
Penjelasan ini mematahkan jargon sebagian kecil kelompok yang menyuarakan kembali pada Al Qur'an dan Hadis dengan mengesampingkan madzhab fikih. Salah satu guru Imam Syafi'i, Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengemukakan sebuah ungkapan,
الحديث مضلة الا للفقهاء
“Hadits itu menyesatkan, kecuali bagi para fuqaha’.”
Semoga bermanfaat.
Posting Komentar untuk "Urgensi Memahami Hukum Fikih, Larangan Menikahi Dua Perempuan Mahram Sekaligus"