Sudut Pandang Berakhlak Harus Didasari Ilmu
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk bersosialisasi dalam keseharian. Berinteraksi dengan manusia lain kadang timbul penilaian baik dan buruk, juga pantas dan tidak pantas untuk diajak bekerjasama dan berkomunikasi. Sebab inilah manusia perlu menunjukkan perilaku baik dan pantas dalam berinteraksi. Pandangan perilaku baik inilah yang sering diagung-agungkan oleh sebagian pada da'i bahwa akhlak harus menyertai dalam segala aspek, apalagi ada pandangan bahwa akhlak lebih baik dari pada ilmu. Pandangan ini didasari pada pernyataan Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Melanjutkan pandangan di atas, Yusuf bin Al Husain juga berkata,
بالأدب تفهم العلم
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”
Keutamaan Belajar Adab
Belajar adab atau akhlak tentu benar adanya, sebab dengan belajar adab terlebih dahulu dari pada ilmu-ilmu yang lain melahirkan sifat-sifat baik dalam menghormati guru, ilmu, dan sarana mendapatkan ilmu. Dalam kitab Ta'limul Muta'allim, banyak sekali adab-adab yang harus diperhatikan oleh seorang santri untuk bendapatkan ilmu yang manfaat dan barokah. Imam Az Zarnuji menuliskan,
فلما رأيت كثيرا من طلاب العلم فى زماننا يجدون إلى العلم ولايصلون ومن منافعه وثمراته ـ وهى العمل به والنشر ـ يحرمون لما أنهم أخطأوا طريقه وتركوا شرائطه، وكل من أخطأ الطريق ضل، ولاينال المقصود قل أو جل، فأردت وأحببت أن أبين لهم طريق التعلم على ما رأيت فى الكتب وسمعت من أساتيذى أولى العلم والحكم
"Tatkala aku melihat banyak dari para penuntut ilmu pada masa kita bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, namun tidak dapat mencapai hasilnya. Di antara manfaat dan buah ilmu adalah mengamalkan ilmu dan menyebarkannya. Mereka terhalang (dari ilmu) sebab kesalahan dalam metode mencari ilmu, dan mereka meninggalkan syarat-syaratnya. Sedangkan setiap orang yang salah jalan maka akan tersesat, dan tidak mendapat sesuatu yang ia inginkan sedikit ataupun banyak. Maka aku ingin menjelaskan kepada mereka tata cara belajar berdasarkan yang telah aku lihat dan dengar dari guru-guruku yang memiliki ilmu dan hikmah".
Karya termasyhur al-Zarnuji adalah Ta’lim al-Muta’allim, sebuah kitab yang bisa dinikmati dan dijadikan rujukan hingga sekarang. Seorang orientalis M Plessner mengatakan bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim adalah salah satu karya al-Zarnuji yang masih tersisa.
Dalam kitab yang lain, Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Ibnu Sirin juga berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,
نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,
ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه
“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –
Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
تعلم من أدبه قبل علمه
“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”
Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu Hanifah berkata,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al Madkhol, 1: 164)
Di antara yang mesti kita perhatikan adalah dalam hal pembicaraan, yaitu menjaga lisan. Luruskanlah lisan kita untuk berkata yang baik, santun dan bermanfaat. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
من عدَّ كلامه من عمله ، قلَّ كلامُه إلا فيما يعنيه
“Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat” Kata Ibnu Rajab, “Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak menghitung perkataannya dari amalannya” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 291).
Sudut Pandang Berakhlak Harus Didasari Ilmu
Berbagai pendapat dan pandangan para ulama' di atas patut kita jalankan sebagai santri untuk mendapatkan kemanfaatan dan keberkahan ilmu. Namun, melihat realitas saat ini banyak yang merasa sudah berakhlak dan beradab atau dapat dikatakan lain dengan istilah beretika serta bermoral -yang selanjutnya penulis akan paparkan singjat perbedaan istilah-istilah tersebut diakhir postingan ini-. Banyak personalitas di saat ini yang lebih memilih meniru tampilan adab yang diterjemahkan dengan pakaian, jubah, dan juga hal-hal luar yang kasat mata, namun meninggalkan dasar dari adab itu sendiri, yaitu ilmu.
Diantara tindakan dan perilaku yang terjadi ialah seorang imam sholat lima waktu berani menggunakan jubah kebesarannya dilengkapi juga dengan imamahnya, namun tidak memahami rukun, sunnah ab'ad, dan sunnah haiat sholat itu sendiri. Perilaku ini menyilaukan makmum, seakan dia yang lebih pantas untuk menjadi imam sholat tanpa lulus uji publik tentang kealimannya. Hal lain, ialah para penghafal 1 dan 2 hadis lebih pede menyampaikan hadis itu sendiri dari pada santri yang sudah puluhan tahun menggeluti ilmu mustholah hadis. Dan banyak hal-hal lain yang semisalnya.
Gus Baha dalam kajiannya mengingatkan tentang hal itu, bahwa kedudukan akhlak itu dibawah ilmu dan aqidah. Diantara contoh yang Gus Baha sampaikan ialah senyumnya seorang perempuan pada laki-laki lain bukan termasuk akhlak yang baik, sebab hal tersebut menyalahi ilmu dan hukum syariat. Mengingari janji dalam perjudian dan perzinahan merupakan hal baik, sebab judi dan zina merupakah hal yang dilarang. Tentu melanggar janji dalam judi dan zina ialah hal kebaikan.
Perbedaan Akhlak dan Adab
Aklak dan Adab secara sepintas tidak memiliki perbedaan yang bertolak belakang. Namun, bila harus dicari perbedaanya akan ditemukan beberapa istilah yang berbeda dari keduanya. Diantaranya disampaikan oleh Ustadz Adi Hidayat dalam ceramahnya sebagai berikut,
“Ada adab ada akhlak. Itu beda. Kalau adab itu nilai kemuliaan yang didapat dari proses pendidikan dan kemudian membentuk peradaban. Syarat untuk dapatkan adab itu bukan iman tapi belajar,” “Akhlak adalah nilai mulia yang hanya bisa didapat melalui ibadah kepada Allah SWT. Dengan menjalankan salat, puasa, membaca Alquran dan ibadah-ibadah lainnya akan membuat seseorang menjauh dari hal-hal buruk,”
Dalam KBBI juga ditemukan perbedaan devinisi sebagai berikut,
Menurut KBBI, akhlak adalah budi pekerti atau kelakuan. Adapun adab menurut KBBI adalah kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, akhlak.
Lebih mendalam lagi tentang perbedaan divinis tersebut, maka akan dipertanyakan pula pada kata Etika dan Moral. Istilah akhlak, etika, dan moral mempunyai persamaan dan perbedaan dalam pemaknaannya. Prof. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag. dalam buku “Akhlak Tasawuf” menjelaskan bahwa,
- Pertama bahwasanya ketiganya mengacu pada gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, dan perangai yang baik.
- Kedua, merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk mengukur martabat dan harkat kemanusiaannya.
- Ketiga, merupakan potensi positif yang dimiliki oleh setiap orang.
Perbedaan diantara ketiga istilah tersebut ialah, akhlak tolok ukurnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, Etika tolok ukurnya adalah pikiran atau akal, sedangkan Moral tolak ukurnya adalah norma yang hidup dalam masyarakat.
16 Adab Manusia Terhormat
Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali menjelaskan tentang 16 Adab Manusia Terhormat sebagai berikut:
آداب الشريف: يصون شرفه، ولا يأكل بِنَسَبِهِ، ولا يتعدى بِحَسَبِهِ، همته التواضع لربه، والخوف من سيده، ويأخذ بالفضل على من دونه، ولا يساوى من هو مثله، يعرف الفضل لاهل العلم وإن كان مثلهم في العلم أو أعلم، يلازم أهل الدين من أهل الفقه والقرآن، ويهذب أخلاقه، ويتحفظ في ألفاظه عند غضبه وخطابه، ويكرم جلساءه، ويواصل إخوانه، ويصون أقاربه، ويعين جيرانه، ويزين بنفسه أخدانه
Artinya: “Adab orang terhormat, yakni: menjaga kehormatan diri, tidak makan dengan terlalu bernafsu, tidak melebihi batas kecukupan, bertawadhu kepada Allah SWT, ‘segan kepada pimpinan, menganggap utama orang yang berada di bawahnya, dan tidak menganggap sama orang yang sebetulnya sejajar, mengetahui keutamaan orang berilmu meskipun sejajar ilmunya atau lebih pandai dari diri sendiri meski sebenarnya ia lebih pintar, senantiasa mendekat pada ahli agama dari kalangan ahli fiqih dan ahli Al-Quran, disiplin dalam menjaga akhlak, menjaga kata-kata saat marah dan berbicara, memuliakan orang-orang yang duduk bersamanya, menyambung persaudaraan, menjaga para kerabat, menolong tetangga dan menjadi hiasan yang indah bagi teman-temannya.”
Dari kutipan di atas dapat diuraikan keenam belas adab orang terhormat sebagai berikut:
- Pertama, menjaga kehormatan diri. Cara terbaik menjaga kehormatan diri adalah menjaga akhlak yang baik kepada siapapun. Dengan akhlak yang baik, orang-orang terhormat akan tetap terjaga keterhormatannya. Sebaliknya dengan akhlak yang buruk, mereka akan kehilangan keterhormatannya sebab orang lain akan menilainya tidak pantas dihormati.
- Kedua, tidak makan dengan terlalu bernafsu. Cara makan orang-orang terhormat tentu berbeda dengan orang-orang yang hidup dalam serba kekurangan. Jika mereka makan dengan sangat bernafsu karena jarang makan misalnya, maka orang-orang terhormat makan dengan etika tertentu seperti pelan hingga tidak menimbulkan suara kunyahan yang tak perlu.
- Ketiga, tidak melebihi batas kecukupan. Porsi makan orang-orang terhormat hendaknya sewajarnya. Mereka hendaknya menghindari “kethowo” (bahasa Jawa), yakni mengambil porsi makan terlalu banyak karena terlau bernafsu tetapi pada akhirnya tidak bisa menghabiskannya. Hal ini pasti menimbulkan kemubadziran yang dicela agama.
- Keempat, bertawadhu’ kepada Allah SWT. Orang-orang terhormat dituntut bersikap tawadhu’, dalam arti mereka tidak boleh bersikap sombong kepada siapapun, terlebih kepada Allah SWT. Sikap tawadhu’ mereka justru akan mengangkat derajat mereka dan menjadikannya orang-orang mulia di hadapan Allah SWT.
- Kelima, segan kepada pimpinan. Orang-orang terhormat hendaknya tetap menunjukkan rasa segan atau takut kepada para pimpinan dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi. Sebagai contoh, orang-orang terhormat yang tinggal di wilayah tertentu hendaknya menunjukkan sikap hormat kepada para pimpinannya seperti ketua RT, ketua RW, kepala desa dan seterusnya hingga kepala negara. Intinya adalah tidak boleh meremehkan mereka.
- Keenam, menganggap utama orang yang berada di bawahnya. Orang-orang terhormat hendaknya memperlakukan orang lain baik yang berada di bawah maupun di atasnya sebagai orang-orang utama. Artinya orang-orang terhormat tidak boleh merendahkan orang-orang di luar dirinya sekalipun mereka secara sosial berada di bawahnya.
- Ketujuh, tidak menganggap sama orang yang sebetulnya sejajar. Orang-orang terhormat hendaknya menganggap orang-orang yang secara sosial sebetulnya sejajar sebagai orang-orang yang lebih utama. Artinya orang-orang terhormat hendaknya selalu menghormati orang lain tanpa memandang status sosial, misalnya.
- Kedelapan, mengetahui keutamaan orang-orang berilmu meskipun ia sejajar ilmunya dengan mereka, atau malahan ia lebih pintar. Orang-orang terhormat yang sekaligus orang-orang pintar hendaknya menganggap orang-orang pintar lainnya sebagai orang yang lebih utama dari pada dirinya sendiri meski ia sebenarnya lebih pandai dari pada mereka.
- Kesembilan, senantiasa mendekat pada ahli agama dari kalangan ahli fiqih dan ahli Al-Quran. Orang-orang terhormat yang tidak berasal dari kalangan agamawan sebaiknya mendekat pada para ulama dari kalangan ahli fiqih dan Ahli Al-Qur’an termasuk para ahli tafsir. Hal ini agar mereka tidak hanya terhormat di mata masyarakat tetapi juga di mata Allah karena ketawaannya.
- Kesepuluh, disiplin dalam menjaga akhlak. Orang-orang terhormat hendaknya senantiasa menjaga budi pekerti. Hendaklah mereka selalu memperhatikan situasi dan kondisi di mana ia berada dan kepada siapa mereka sedang berbicara dan bertingkah laku.
- Kesebelas, menjaga kata-kata saat marah dan berbicara. Orang terhormat tidak bebas berucap semaunya, terlebih mengucapkan kata-kata kotor di saat marah. Hal ini karena semakin tinggi kedudukan seseorang di masyarakat semakin kuat tuntutan berakhlak yang baik karena mereka akan diperhatikan dan dicontoh orang-orang di sekitarnya.
- Kedua belas, memuliakan orang-orang yang duduk bersamanya. Orang-orang terhormat memang tidak bebas berbuat sesukanya. Kedudukannya yang tinggi di masyarakat justru menuntutnya untuk selalu memberikan contoh yang baik seperti memuliakan orang-orang yang duduk bersamanya meski mereka secara sosial berada di bawahnya. Ketiga belas, menyambung persaudaraan. Orang-orang terhormat bisa saja semula adalah orang-orang biasa yang kemudian karena sebab-sebab tertentu mengalamai kenaikan status sosial. Tidak boleh kenaikan status sosial ini kemudian membuat mereka menjadi sombong dengan memutus persaudaraan.
- Keempat belas, menjaga para kerabat. Orang terhormat hendaknya memperhatikan para kerabatnya agar terhindar dari hal-hal yang tidak baik. Misalnya, menjaga agar mereka tidak terlibat dalam hal-hal yang melanggar hukum, baik hukum agama maupun hukum negara, seperti narkoba dan sebagainya.
- Kelima belas, menolong tetangga. Orang terhormat hendaknya peduli terhadap lingkungan sekitarnya khususnya tetangga. Hidup bertetangga memang hendaknya saling membantu karena suatu ketika pihak yang satu membutuhkan pertolongan dari pihak lain, atau sebaliknya.
- Keenam belas, menjadi hiasan yang indah bagi teman-temannya. Orang terhormat hendaknya dapat mewarnai pergaulan dengan teman-temannya dengan warna yang baik sehingga berdampak positif bagi akhlak mereka. Artinya orang terhormat dalam pergaulan sehari-hari hendaknya mewarnai dengan kebaikan dan bukan sebaliknya diwarnai dengan keburukan.
Semoga bermanfaat.
Posting Komentar untuk "Sudut Pandang Berakhlak Harus Didasari Ilmu"