Hadis tentang Pembagian 3 Fase di Bulan Ramadhan
Ramadhan memberikan keberkahan tersendiri kepada para da'i dan penceramah. Da'i dan Penceramah utamanya yang sedang kondang full dengan kegiatan da'wah di masjid, mushalla, hingga pengajian umum di lapangan. Kajian ini bisa berbentuk kultum (kuliah tujuh menit), kulimbas (kuliah lima belas menit), dan jenis lainnya. Waktunya pun beragam, ada yang diletakkan setelah sholat tarawih dan juga menjelang berbuka puasa.
Hadis tentang Pembagian 3 Fase di Bulan Ramadhan
Terdapat satu hadis yang sering disampaikan oleh para dai dalam ceramahnya, yaitu hadis tentang pembagian 3 (tiga) fase di dalam bulan Ramadhan. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut,
أوله رحمة، وأوسطه مغفرة، وآخره عتق من النار
Artinya, “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, sedangkan akhirnya adalah terbebas dari neraka.”
Hadis di atas menjelaskan bahwa di dalam ramadhan terbagi menjadi 3 (tiga) fase. Ada yang langsung merinci pembagian tersebut dalam hari. Fase pertama meliputi hari ke-1 sampai 10, fase ke-2 merupakan hari ke-11 hingga 20, dan fase ke-3 ialah hari ke-21 hingga habis bulan Ramadhan.
Rincian dan penjelasannya sebagai berikut,
- Pada 10 hari pertama di Bulan Ramadan adalah Rahmat. Pada 10 hari itu, banyak sekali rahmat yang diturunkan Allah SWT. Oleh karena itu, di sepuluh hari pertama ini, disarankan untuk banyak berdoa dan beribadah kepada Allah agar setiap hari berada di dalam rahmatNya.
- Kemudian 10 hari kedua di Bulan Ramadhan adalah maghfirah, Pada 10 hari kedua banyak sekali dosa yang diampunkan oleh Allah bagi hambaNya yang bertaubat. Pada 10 hari kedua hendaklah memperbanyak sholat malam, berdoa dan dzikir, serta banyak bermuhasabah diri/bertaubat nasuhah. Karena pada sepuluh hari kedua ini adalah kesempatan untuk mengurangi dosa-dosa yang sudah diperbuat. Hendaknya pula berdoa dan berdzikir untuk memohon ampunan Allah agar di ampunkan dari dosa-dosa dan dijauhkan dari siksa api neraka.
- Sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadhan adalah penghindaran diri dari siksa api neraka. Sepuluh hari terakhir inilah kesempatan untuk menyucikan diri dan banyak berdoa agar senantiasa dihindarkan dari api neraka. Pada 10 hari terakhir ini terdapat pula malam lailatul Qadr, yaitu malam yang lebih mulia dari seribu bulan (QS. Al-Qadr). Oleh karena itu, hendaknya di 10 hari terakhir benar – benar dipergunakan berjuang untuk mendapatkan lailatul Qadr.
Berbeda dari pembahasa tentang inti hari di atas, bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syuʽabul Iman dan juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih ibn Khuzaimah. Walaupun diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih-nya, menurut al-Suyuthi, hadits ini bermuara pada satu sumber sanad (madar), yaitu Ali ibn Zaid ibn Jadʽan yang divonis oleh para ulama sebagai orang yang dhaif. Sedangkan orang yang meriwayatkan hadits tersebut dari Ali ibn Zaid adalah Yusuf bin Ziyad yang divonis dhaif parah (dhaif jiddan). Walaupun ada ulama lain yang juga meriwayatkan hadits ini dari Ali bin Zaid, yaitu Iyas ibn Abd al-Ghaffar. Sayangnya Iyas sendiri juga orang yang majhul menurut Ibn Hajar al-Asqalani. Penjelasan ini dapat dilihat dalam Jâmiʽ al-Aḥâdîtsnya imam Suyuti.
Walaupun demikian, pada prinsipnya hadits yang berkaitan dengan fadhail amal (keutamaan beramal) itu boleh diriwayatkan. Dalam konteks pembahasan tulisan ini, boleh digunakan untuk ceramah, walaupun status hadisnya dhaif.
Landasan Penggunaan Hadis Dhoif untuk fadhail amal
Mahmud al-Thahhan menyebutkan bahwa hadits dhaif bisa disampaikan atau diriwayatkan, bahkan tanpa menyebutkan kedhaifannya, namun dengan dua syarat berikut:
- Pertama, tidak berhubungan dengan akidah, seperti sifat Allah SWT, dsb.
- Kedua, tidak berhubungan dengan hukum syariat seperti halal dan haram.
Mahmud al-Thahhan menambahkan bahwa ada juga beberapa ulama yang menggunakan hadits dhaif untuk emberikan ceramah atau tausiyah, seperti Sufyan al-Tsauri, Abdurrahman bin al-Mahdi dan Ahmad bin Hanbal.
تجوز روايتها في مثل المواعظ والترغيب والترهيب والقصص وما أسبه ذالك. وممن روي عنه التساهل في روايتها سفيان الثوري وعبد الرحمن بن المهدي وأحمد بن حنبل.
Artinya, “Boleh meriwayatkan hadits dalam hal ceramah, anjuran, ancaman, kisah, dan semacamnya. Beberapa ulama yang toleran meriwayatkan hadits dhaif (terkait maidhah, anjuran, ancaman, kisah, dsb) adalah Sufyan al-Tsauri, Abdurrahman bin al-Mahdi dan Ahmad bin Hanbal). (Lihat: Mahmud al-Thahhan, Taysîr Musṭalaḥ al-Hadîts, [Riyadh: Maktabah al-Maarif, 2004], h. 80).
Etika menyampaikan Hadis Dhoif dalam Ceramah
Ketika seorang penceramah telah mengetahui bahwa hadits itu dhaif, jangan meriwayatkan atau menyampaikan dengan sighat jazm (sighat yang meyakinkan bahwa itu benar-benar dari Rasulullah), seperti dengan lafaz “Qâla Rasûlullah” dan semacamnya. Tapi hendaknya meriwayatkan dengan sighat tamridh saja, seperti “qîla” atau “ruwiya”. Ini adalah salah satu tindakan untuk berhati-hati, karena telah mengetahui status kedhaifan hadits tersebut.
Alangkah lebih baiknya jika dikuatkan dengan hadits lain yang secara substansi sama tapi lebih sahih sanadnya. Misalnya hadits riwayat al-Tirmidzi dan Ibn Majjah berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ قَالَ: إِذَا كَانَتْ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَنَادَى مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ، وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ.
Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ketika tiba awal malam bulan Ramadhan, para setan dan pemimpin-pemimpinnya dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan tidak ada yang dibuka. Pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada yang ditutup, lalu ada penyeru yang berseru, ‘Hai orang yang mencari kebaikan, teruskanlah. Hai orang yang mencari keburukan, berhentilah. Sesungguhnya Allah membebaskan orang-orang dari neraka, dan itu terjadi pada setiap malam’.” (Lihat: Ibn Majjah al-Qazwaini, Sunan Ibn Majjah, [Beirut: Dar Fikr, T.t], j. 2, h. 26.)
Dalam hadits di atas disebutkan lebih umum, bahwa semua kebaikan dan keutamaan ada dalam bulan Ramadhan. Namun, jika ingin lebih berhati-hati, usahakan untuk tidak menggunakan hadits dhaif dan memilih hadits yang sahih saja.
Semoga bermanfaat
Sumber NU Online
Posting Komentar untuk "Hadis tentang Pembagian 3 Fase di Bulan Ramadhan"