Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Perjuangan Kiai Hamid Thobri Bawean


Para ulama terdahulu menyebar ke seluruh nusantara untuk menyiarkan agama Islam sembari ikut berjuang untuk mengusir penjajah. Namun, tidak banyak yang mengetahui sosok ulama yang berjihad di daerah-daerah pelosok seperti di Pulau Bawean, Gresik. Pulau berjuluk pulau putri ini terletak di Laut Jawa, sekitar 120 kilometer sebelah utara Kabupaten Gresik. Di pulau terpencil ini terdapat sosok ulama yang juga ikut mengusir penjajah, yaitu KH. Hamid Thobri. Dia merupakan ulama yang paling dihormati di Pulau Bawean.

Masyarakat Bawean kerap memanggilnya sebagai Kiai Pancor. Julukan itu disematkan kepadanya karena Kiai Hamid tinggal dan wafat di Dusun Pancor, Desa Sidogedungbatu, Kecamatan Sangkapura. Sementara, keturunannya memanggil Kiai Hamid dengan sebutan "Toa Ae".

Kiai Hamid adalah putera dari pasangan KH Thobri dan Hajjah Syafiyah yang berdarah Sulawesi, sehingga tak heran jika Kiai Hamid juga mewarisi sifat keras orang Timur. Kiai Hamid dilahirkan pada 20 September 1899 M di Pulau Bawean, Gresik. Kehidupan masa kecilnya ia lalui di dusun Batusendi.

Seperti halnya anak-anak pada umumnya Kiai Hamid dikenal agak nakal, tapi kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial sudah terlihat sejak kecil. Dia belajar dasar-dasar ilmu pada ayahnya langsung, KH Thobri. Setelah berusia 20 tahun, baru Kiai Hamid menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Wangun Pasuruan, tepatnya pada 1918 M.

Selama tiga tahun di pesantren itu, Kiai Hamid belajar kepada beberapa ulama, yang antara lain, KH Abdul Hamid, KH Nasib, KH Saleh, dan KH Muhammad. Setelah menuntaskan pendidikannya di Pasuruan, Kiai Hamid lalu belajar ke Hijaz, Makkah. Di kota suci itu, Kiai Hamid belajar kepada ulama asal Bawean, Syekh Khalid Khalil.

Sepulangnya dari Makkah pada akhir 1925, Kiai Hamid masih haus akan ilmu agama, sehingga ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Panji Sidoarjo. Dua tahun kemudian, Kiai Hamid belajar agama selama tiga tahun di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan.

Tidak berhenti di situ, Kiai Hamid kembali lagi belajar ke Makkah untuk kedua kalinya. Pada kesempatan inilah dia pergunakan waktunya untuk mempelajariberbagai ilmu keislaman dari berbagai ulama dunia, sehingga kemudian bisa memulai dakwahnya di Pulau Bawean.

Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Bawean, Fauzi Rauf mengungkapkan dalam tulisannya bahwa setelah Kiai Hamid menuntaskan belajarnya di Makkah untuk yang kedua kalinya pada 1941, Kiai Hamid langsung mendirikan langgar atau surau di Dusun Batusendi, Desa Sidogedungbatu. Langgar itu menjadi awal mula dakwahnya di Bawean.

Beberapa tahun kemudian, Kiai Hamid pun ditunjuk sebagai Komandan Laskar Hizbullah untuk daerah Pulau Bawean. Dia menerima amanah tersebut dengan penuh tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan guru-gurunya, serta untuk menegakkan aqidah Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja).

Laskar Hizbullah merupakan organisasi yang dibentuk oleh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari pada November 1943, beberapa minggu setelah pembentukan tentara Pembela Tanah Air (PETA). Laskar Hizbullah dilatih secara gratis oleh penjajah Jepang, sehingga kemudian mempunyai kekuatan untuk menghadapi agresi Belanda II.

Pada 1948, Kiai Hamid akhirnya mendirikan sebuah pesantren di Dusun Pancor dengan nama Pondok Pesantren Raudlatul Mustarsyidin. Pesantren tertua di Bawean tersebut kini sudah berganti nama menjadi Pesantren Nurul Huda.

Salah satu cucu Kiai Hamid, Gus Mahfudz mengatakan, Raudlatul Mustarsyidin merupakan pesantren pertama kali yang berdiri di Bawean, sehingga para kiai dan ulama Bawean saat ini meyoritas pernah belajar di pesantren tersebut.

“Dulu gak ada pondok sama sekali di Bawean, jadi otomatis yang tidak bisa mondok ke Jawa akhirnya nyantri ke sini,” kata Gus Mahfud.

Di pesantren itu, Kiai Hamid sehari-hari mengajar santrinya agar menjadi pendakwah dalam memperjuangkan Islam. Melalui pesantren itu, Kiai Hamid ingin mencetak kader-kader yang menguasai ilmu agama, Sementara, di Laskar Hizbullah, Kiai Hamid ikut berjuang mengusir penjajah sebagai upaya untuk meraih kemerdekaan.

“Konon kata orang-orang dulu, saat Belanda menyerang Bawean bomnya tidak bisa meledak, mungkin karena karomah //Toa Ae//,” jelas Gus Mahfud.

Kiai Hamid juga dikenal sangat rajin bersilaturrahim dengan para kiai dan ulama, serta dengan murid-muridnya. Saat berdakwah, Kiai Hamid biasanya akan menunggangi kudanya yang berbulu putih. Namun, menurut Gus Mahfud, setelah itu Kiai Hamid diusung oleh santri-santrinya dengan menggunakan tandu.

Meskipun sudah uzur, Kiai Hamid tetap semangat untuk berdawah ke kampung-kampung di Pulau Bawean. Saat Kiai Hamid lewat, masyarakat Bawean biasanya akan diam di tempat untuk menunjukkan rasa ta’dzim hingga Kiai Hamid berlalu.

“Setelah di akhir-akhir tidak kuat jalan, kalau ke daerah pegunungan itu ditandu. Sebelumnya biasanya naik kuda warna putih,” kata dia.

Kiai Hamid merupakan sosok ulama yang teguh pada pendiriannya dan sangat berwibawa. Jika berceramah, Kiai Hamid selalu memulai dengan anjuran untuk bertaubat dan meningkatkan keimanan. Anak-anak juga sangat gembira ketika Kiai Hamid berdakwah ke kampung-kampung, karena Kiai Hamid biasanya membagikan uang receh kepada anak kecil.

Kiai Hamid memang dikenal sangat dekat dengan masyarakat bawah. Selain itu, dia juga tidak ingin diistimewakan saat menghadiri acara-acara keagamaan seperti perayaan Maulid Nabi. Kiai Hamid bahkan pernah marah lantaran setelah acara diberikan berkat yang lebih besar dibandingkan masyarakat lainnya.

“Dakwahnya tegas. Intinya menegakkan kalima tauhid. Yang selalu ditekankan itu. Dzikir kepada Allah,” jelas Gus Mahfud.

Sumber : Boyanesia

Posting Komentar untuk "Kisah Perjuangan Kiai Hamid Thobri Bawean"